Supir Taat Pembawa Hikmah
Udara Jakarta harus sudah dihirup sebelum siang esok hari. Perjalanan menuju Bandara Polonia (sebelum kini sudah dialihkan ke Bandara Kualanamu) di Kota Medan paling cepat ditempuh dalam waktu sepuluh jam dengan kondisi jalan yang tidak sehat. Mengejar penerbangan pagi mau tidak mau harus berangkat sesegera mungkin malam sebelum matahari keberangkatan terbit. Sangat mepet memang, mengingat perintah juga datang tiba-tiba, tidak lebih dari dua puluh jam sebelum deadline yang ditentukan.
Matahari sudah terbenam ketika
si wakil rakyat (anggota DPRD) bersiap-siap akan berangkat dari Kota Sibolga. Supir pribadi
sudah stand by sesuai perintah. Begitu si bapak masuk mobil hanya satu
perintah yang dia ucapkan, “Aku akan tidur di bangku belakang. Tidak perlu
berhenti atau membangunkanku untuk makan karena kita harus sudah tiba di Medan
esok pagi mengejar pesawat.”
Cukup jelas perintah itu tertanam di kepala si supir. Pesan utamanya tentu sesegera mungkin tiba di Medan tanpa ada seremoni apapun sepanjang jalan. Seperti kebanyakan perjalanan jauh sudah pasti ada istirahat untuk makan, ke kamar kecil, shalat atau sekedar meregangkan otot baik bagi pengemudi atau penumpang. Akan tetapi, untuk perjalanan kali ini semua itu harus diabaikan. Siap laksanakan, tentu hanya itu yang perlu diucapkan dan dilakukan si supir. Mesin dinyalakan, doa dalam hati, maju jalan.
Tiga jam pertama perjalanan hampir dipastikan setiap kendaraan akan berhenti untuk istirahat. Kenapa? Karena di tiga jam pertama ini merupakan medan terberat sepanjang perjalanan menuju Medan dari Kota Sibolga. Semua orang yang pernah melalui jalur ini pasti mengakuinya. Ya, perjalanan Sibolga-Tarutung dengan sejuta tikungan romantis, kondisi jalan yang syahdu, jalan mendaki yang menggoda, kiri jurang kanan bukit atau sebaliknya sungguh sangat menarik perhatian dan mencuri banyak tenaga.
Tentu saja itu bukan suatu musibah yang menakutkan atau menyakitkan hati. Bisa saja dikatakan seperti itu kalau dilihat dari sisi negatifnya. Tapi bagi yang sudah menerima dengan sepenuh hati dan melihat dari sisi positif, maka perjalanan ini merupakan tantangan yang eksotis. Apalagi perjalanan ini memiliki satu ciri yang mungkin tiada duanya di Indonesia. Dia lah si Batu Lubang.
Sedikit mengenang ke cerita singkat sejarah jalan Sibolga-Tarutung. Konon katanya pembangunan jalan ini dilakukan oleh Belanda zaman dahulu kala, entah tahun berapa itu. Tidak gampang untuk menyelesaikan proyek ini karena medan yang sangat berat. Bayangkan saja jalan ini sebenarnya berada di sisi-sisi Pegunungan Bukit Barisan yang tiada putusnya. Berkelok-kelok seperti tak ada ujungnya, beberapa diantara kelokan itu sangat tajam dengan sudut kecil. Begitu juga dengan sensasi jalan mendaki hingga rasanya kalau dilihat dari bawah sudah berada di puncak tertinggi gunung. Pada ketinggian tertentu setiap yang lewat juga disuguhkan dengan pemandangan indah Samudera Hindia dengan beberapa pulau di sekitarnya serta pemandangan Kota Sibolga.
Batu Lubang tentu menjadi yang
paling istimewa dari semuanya. Batu Lubang sebenarnya hanya istilah masyarakat
yang sudah sangat mendarah daging dari dahulu sekali. Kalau istilah yang
dikenal dalam bahasa indonesia adalah terowongan. Pada titik Batu Lubang bisa
disimpulkan bahwa pada proses pembangunannya dulu, para ahli sudah tidak
menemukan jalur lagi selain melubangi sisi gunung dari batu cadas yang sangat
keras. Itu terlihat jelas saat titik ini dilalui. Posisinya berada pada sudut
huruf “U” membuat harus dibuat dua lubang agar dapat dilalui. Ukuran Batu
Lubang yang panjang sekitar 30 meter dan ada tikungan di dalam. Sedangkan yang
pendek sekitar 20 meter dan tanpa tikungan. Diameter Batu Lubang ini sekitar
4-5 meter sehingga hanya boleh satu arah saja ketika melewatinya. Saat berada
di dalam Batu Lubang ini akan ada satu perasaan berbeda karena suasananya yang
gelap, basah seperti hujan sedang turun, dingin dan apapun itu.
Sepasang air terjun yang
menghiasi masing-masing lubang batu tepat di bagian atas. Tentu sangat sayang
kalau tidak mengabadikannya ketika melewati daerah ini pada siang hari. Memang
hanya air terjun kecil dengan ketinggian tidak lebih dari tiga puluh meter, namun
kalau saja ada jembatan penghubung sehingga dapat melihat kedua air terjun
secara bersamaan tentu sangat menarik. Disitu pulalah uniknya air terjun ini,
tidak mungkin melihatnya secara bersamaan.
Kembali ke si supir. Kota Tarutung
dilewati begitu saja. Kota selanjutnya adalah Siborong-borong, lewat juga.
Menyusul Balige. Kalau siang hari tentu satu sisi Danau Toba sudah terlihat.
Bahkan menjadi salah satu angle terbaik kalau difoto sebab menjelang Balige
kita seakan turun gunung sehingga Danau Toba terlihat dari ketinggian. Dengan
sudut seperti ini tentu jangkauan pandangan lebih jauh dan jelas.
Disinilah kisah konyol terjadi.
Persediaan rokok si supir yang telah habis memaksanya untuk berhenti pada salah
satu warung yang ada di sisi kiri jalan. Tidak terlalu sulit menemukan warung
kecil maupun besar kalau berada di sekitar kawasan kota atau daerah wisata.
Singgah di satu warung ternyata rokok yang dimaksud tidak ada. Segera langkah
kaki si supir menyeberangi jalan menuju warung yang kini ada di sisi kanan
jalan. Saat itulah terjadi yang tidak disangka-sangka. Penumpang tunggal tanpa
pemberitahuan keluar mobil menuju kamar kecil karena tentunya sudah tidak kuat
lagi. Terjadilah yang harus terjadi. Rokok telah di tangan. Tanpa berpikir
apa-apa si supir segera masuk mobil dan tancap gas.
Waktu terus berputar. Kalau
dihitung-hitung berdasarkan jam normal perjalanan mereka berada di Balige tepat
tengah malam. Si supir hanya asyik dengan rokok yang tersulut, fokus pada
kemudi dan jalan yang ada dihadapannya. Pada jam segini jalan bisa dipastikan
sepi dan lengang. Sesekali mendahului, didahului atau berpapasan dengan
kendaraan lain dari arah berlawanan. Hanya di daerah Parapat khususnya di titik
Pemandangan akan ada sedikit keramaian karena banyak orang yang istirahat makan
dan minum sambil menikmati Danau Toba tampak malam dari ketinggian.
Memasuki kawasan Siantar, mobil
harus berguncang keras karena terlambat menghindari lubang di jalan. Kecepatan
yang tinggi membuat guncangannya tidak normal. Si supir sedikit terkejut atas
kejadian itu. Akan tetapi, rasa terkejutnya sirna menjadi satu rasa heran.
Dengan guncangan seperti itu mestinya siapapun yang ada di dalam mobil pasti
sadar bahkan sedikit mengupat supir yang terkesan tidak hati-hati. Mengapa
tidak ada respon dari si penumpang tunggal?
Rasa penasaran membuat si supir
untuk pertama kalinya melihat ke belakang mengecek penumpangnya. Betapa
terkejutnya dia karena tidak melihat seorang pun ada disana. Terkejut pun
semakin menjadi-jadi bercampur panik tidak terkira. Mobil dihentikan bertepatan
tidak jauh dari salah satu Pos Polisi. Si supir turun mobil untuk mengecek
lebih detail. Bisa dipastikan perasaannya bagaimana saat itu. Bagaimana mungkin
penumpang satu-satunya hilang. Bingung tiada terkira. Tidak tahu harus
mengatakan apa.
Seorang petugas polisi yang sedang berjaga mendekati si supir. Bisa ditebak pertanyaan petugas, ada apa, Pak? Sepertinya sedang mencari sesuatu? Tentu saja jawaban sedikit lucu dan tidak masuk akallah yang akan didapat si petugas. Penumpang saya satu-satunya hilang, Pak. Tadi ada di dalam mobil tapi tiba-tiba menjadi tidak ada. Dengan jawaban seperti itu hanya alis mata si petugas yang akan merespon balik.
Pada akhirnya solusi yang bisa
diberikan adalah coba diingat-ingat dulu selama di perjalanan. Pernahkah
berhenti untuk satu tujuan. Ya, hanya itu satu-satunya yang masuk akal sebagai
jawaban dari semua yang terjadi. Tidak mungkin terucap kata-kata bahwa si penumpang menghilang di culik makhluk jadi-jadian. Balige! Kata itu yang terpikir oleh si supir.
Cuma disana mobil berhenti. Putar kemudi, rubah arah. Kembali ke Balige.
Balige-Siantar normalnya
ditempuh selama dua jam. Kalau benar si penumpang berada disana setidaknya dia
akan menunggu selama empat jam. Selama perjalanan kembali perasaan si supir
sudah tidak enak. Akal sehatnya seakan-akan menebak apa yang akan terjadi
nanti ketika bertemu dengan bosnya. Satu kalimat yang sebenernya dia sudah
pasrah menerima andaikata si bos berkata, berikan kunci mobil padaku dan cari
sendiri jalanmu untuk pulang. Mau bagaimana lagi, itu sudah resiko yang harus
siap diterima. Setidaknya dia sudah menyiapkan mental untuk semua kemungkinan
buruk yang terjadi.
Benar saja. Tepat di posisi
dimana dia membeli rokok si supir melihat bosnya tengah duduk sendiri di kursi
warung kecil. Mobil menepi. Supir mematikan mesin lalu tertunduk lesu melangkah
mendekati bosnya. Tidak tahu harus berkata apa selain ungkapan minta maaf
sebagai kalimat pertama dan mungkin satu-satunya yang ingin dikatakan. Sebagai
seorang bawahan bagaimana tidak merasa sangat bersalah. Karena kelalaiannya
rencana si bos berantakan. Telat empat jam dari yang semestinya. Belum lagi
penantian si bos ditengah malam, di tepi jalan yang sepi selama empat jam.
Penantian untuk satu jam saja dengan kondisi seperti itu kepala siapapun bisa meledak.
Lain diduga lain yang terjadi.
Ternyata si bos tidak marah sama sekali. Dia memaklumi bahwa yang terjadi bukan
murni kesalahan si supir. Si supir justru hanya mencoba melaksanakan perintah
awal dirinya untuk fokus tiba di Medan sesegera mungkin. Berhenti untuk membeli
rokok sangat manusiawi. Seorang supir malam tanpa rokok itu menjadi aneh. Bagi
mereka rokok adalah penghilang rasa kantuk nomor satu. Si bos sendirilah yang
merasa dirinya penyebab keadaan itu. Tidak meberi tahu saat akan ke toilet. Si
supir merasa lega karena tidak terjadi hal yang ditakutkannya. Meski akan
berubah semua dari rencana awal tapi itu menjadi pelajaran unik untuknya.
Pertanyaan
pun timbul, kenapa si bos tidak ditelepon saja ketika tertinggal? Cerita ini
terjadi sekitar akhir tahun 90-an. Kala itu tentu handphone merupakan barang
yang sangat mewah sehingga tidak semua orang memilikinya. Si bos mungkin
memilikinya tapi tidak demikian dengan si supir. Jangankan memiliki handphone,
harga kartu dan pulsanya saja kala itu sudah semahal handphone kelas menengah
ditahun 2010 ke atas.
Selalu saja ada hikmah dibalik
setiap peristiwa kalau kita bisa membacanya. Tidak lama setelah mereka
memutuskan untuk kembali ke Kota Sibolga datanglah berita tentang kakak si
supir yang menderita sakit keras. Tempatnya tidak terlalu jauh dari Balige dan tetap mengarah pada jalan pulang ke Sibolga meski memasuki satu pertigaan lagi, Dolok Sanggul. Si bos berbesar hati menawarkan agar mereka menuju ke tempat
yang dimaksud.
Manusia begitu ahli dalam
membuat rencana, namun tetap Dia lah yang menentukan akhir dari segalanya.
Perjalanan mereka menuju Dolok Sanggul awalnya hanya ingin melihat dan
menghibur kakak si supir yang sedang sakit, berharap dapat sembuh lebih cepat.
Tapi akhirnya itu adalah sekaligus pertemuan mereka yang terakhir dengan yang
ingin dikunjungi. Kakak si supir menghembuskan napasnya yang terakhir hari itu juga.
Tiada yang dapat diperbuat. Semua adalah kehendak-Nya. Satu hal yang pasti ini
menjadi salah satu hikmah dibalik yang terjadi sepanjang malam dan hari ini.(MS)
0 comments:
Post a Comment