-Thank You for Visiting-
Home » , » Balada Si Supir

Balada Si Supir

Written By Unknown on Sunday 16 March 2014 | 15:18

Supir Taat Pembawa Hikmah



Udara Jakarta harus sudah dihirup sebelum siang esok hari. Perjalanan menuju Bandara Polonia (sebelum kini sudah dialihkan ke Bandara Kualanamu) di Kota Medan paling cepat ditempuh dalam waktu sepuluh jam dengan kondisi jalan yang tidak sehat. Mengejar penerbangan pagi mau tidak mau harus berangkat sesegera mungkin malam sebelum matahari keberangkatan terbit. Sangat mepet memang, mengingat perintah juga datang tiba-tiba, tidak lebih dari dua puluh jam sebelum deadline yang ditentukan. 

Matahari sudah terbenam ketika si wakil rakyat (anggota DPRD) bersiap-siap akan berangkat dari Kota Sibolga. Supir pribadi sudah stand by sesuai perintah. Begitu si bapak masuk mobil hanya satu perintah yang dia ucapkan, “Aku akan tidur di bangku belakang. Tidak perlu berhenti atau membangunkanku untuk makan karena kita harus sudah tiba di Medan esok pagi mengejar pesawat.”

Cukup jelas perintah itu tertanam di kepala si supir. Pesan utamanya tentu sesegera mungkin tiba di Medan tanpa ada seremoni apapun sepanjang jalan. Seperti kebanyakan perjalanan jauh sudah pasti ada istirahat untuk makan, ke kamar kecil, shalat atau sekedar meregangkan otot baik bagi pengemudi atau penumpang. Akan tetapi, untuk perjalanan kali ini semua itu harus diabaikan. Siap laksanakan, tentu hanya itu yang perlu diucapkan dan dilakukan si supir. Mesin dinyalakan, doa dalam hati, maju jalan.

Tiga jam pertama perjalanan hampir dipastikan setiap kendaraan akan berhenti untuk istirahat. Kenapa? Karena di tiga jam pertama ini merupakan medan terberat sepanjang perjalanan menuju Medan dari Kota Sibolga. Semua orang yang pernah melalui jalur ini pasti mengakuinya. Ya, perjalanan Sibolga-Tarutung dengan sejuta tikungan romantis, kondisi jalan yang syahdu, jalan mendaki yang menggoda, kiri jurang kanan bukit atau sebaliknya sungguh sangat menarik perhatian dan mencuri banyak tenaga. 

Tentu saja itu bukan suatu musibah yang menakutkan atau menyakitkan hati. Bisa saja dikatakan seperti itu kalau dilihat dari sisi negatifnya. Tapi bagi yang sudah menerima dengan sepenuh hati dan melihat dari sisi positif, maka perjalanan ini merupakan tantangan yang eksotis. Apalagi perjalanan ini memiliki satu ciri yang mungkin tiada duanya di Indonesia. Dia lah si Batu Lubang.

Sedikit mengenang ke cerita singkat sejarah jalan Sibolga-Tarutung. Konon katanya pembangunan jalan ini dilakukan oleh Belanda zaman dahulu kala, entah tahun berapa itu. Tidak gampang untuk menyelesaikan proyek ini karena medan yang sangat berat. Bayangkan saja jalan ini sebenarnya berada di sisi-sisi Pegunungan Bukit Barisan yang tiada putusnya. Berkelok-kelok seperti tak ada ujungnya, beberapa diantara kelokan itu sangat tajam dengan sudut kecil. Begitu juga dengan sensasi jalan mendaki hingga rasanya kalau dilihat dari bawah sudah berada di puncak tertinggi gunung. Pada ketinggian tertentu setiap yang lewat juga disuguhkan dengan pemandangan indah Samudera Hindia dengan beberapa pulau di sekitarnya serta pemandangan Kota Sibolga.

Batu Lubang tentu menjadi yang paling istimewa dari semuanya. Batu Lubang sebenarnya hanya istilah masyarakat yang sudah sangat mendarah daging dari dahulu sekali. Kalau istilah yang dikenal dalam bahasa indonesia adalah terowongan. Pada titik Batu Lubang bisa disimpulkan bahwa pada proses pembangunannya dulu, para ahli sudah tidak menemukan jalur lagi selain melubangi sisi gunung dari batu cadas yang sangat keras. Itu terlihat jelas saat titik ini dilalui. Posisinya berada pada sudut huruf “U” membuat harus dibuat dua lubang agar dapat dilalui. Ukuran Batu Lubang yang panjang sekitar 30 meter dan ada tikungan di dalam. Sedangkan yang pendek sekitar 20 meter dan tanpa tikungan. Diameter Batu Lubang ini sekitar 4-5 meter sehingga hanya boleh satu arah saja ketika melewatinya. Saat berada di dalam Batu Lubang ini akan ada satu perasaan berbeda karena suasananya yang gelap, basah seperti hujan sedang turun, dingin dan apapun itu.

Sepasang air terjun yang menghiasi masing-masing lubang batu tepat di bagian atas. Tentu sangat sayang kalau tidak mengabadikannya ketika melewati daerah ini pada siang hari. Memang hanya air terjun kecil dengan ketinggian tidak lebih dari tiga puluh meter, namun kalau saja ada jembatan penghubung sehingga dapat melihat kedua air terjun secara bersamaan tentu sangat menarik. Disitu pulalah uniknya air terjun ini, tidak mungkin melihatnya secara bersamaan.

Kembali ke si supir. Kota Tarutung dilewati begitu saja. Kota selanjutnya adalah Siborong-borong, lewat juga. Menyusul Balige. Kalau siang hari tentu satu sisi Danau Toba sudah terlihat. Bahkan menjadi salah satu angle terbaik kalau difoto sebab menjelang Balige kita seakan turun gunung sehingga Danau Toba terlihat dari ketinggian. Dengan sudut seperti ini tentu jangkauan pandangan lebih jauh dan jelas.

Disinilah kisah konyol terjadi. Persediaan rokok si supir yang telah habis memaksanya untuk berhenti pada salah satu warung yang ada di sisi kiri jalan. Tidak terlalu sulit menemukan warung kecil maupun besar kalau berada di sekitar kawasan kota atau daerah wisata. Singgah di satu warung ternyata rokok yang dimaksud tidak ada. Segera langkah kaki si supir menyeberangi jalan menuju warung yang kini ada di sisi kanan jalan. Saat itulah terjadi yang tidak disangka-sangka. Penumpang tunggal tanpa pemberitahuan keluar mobil menuju kamar kecil karena tentunya sudah tidak kuat lagi. Terjadilah yang harus terjadi. Rokok telah di tangan. Tanpa berpikir apa-apa si supir segera masuk mobil dan tancap gas.

Waktu terus berputar. Kalau dihitung-hitung berdasarkan jam normal perjalanan mereka berada di Balige tepat tengah malam. Si supir hanya asyik dengan rokok yang tersulut, fokus pada kemudi dan jalan yang ada dihadapannya. Pada jam segini jalan bisa dipastikan sepi dan lengang. Sesekali mendahului, didahului atau berpapasan dengan kendaraan lain dari arah berlawanan. Hanya di daerah Parapat khususnya di titik Pemandangan akan ada sedikit keramaian karena banyak orang yang istirahat makan dan minum sambil menikmati Danau Toba tampak malam dari ketinggian.

Memasuki kawasan Siantar, mobil harus berguncang keras karena terlambat menghindari lubang di jalan. Kecepatan yang tinggi membuat guncangannya tidak normal. Si supir sedikit terkejut atas kejadian itu. Akan tetapi, rasa terkejutnya sirna menjadi satu rasa heran. Dengan guncangan seperti itu mestinya siapapun yang ada di dalam mobil pasti sadar bahkan sedikit mengupat supir yang terkesan tidak hati-hati. Mengapa tidak ada respon dari si penumpang tunggal?

Rasa penasaran membuat si supir untuk pertama kalinya melihat ke belakang mengecek penumpangnya. Betapa terkejutnya dia karena tidak melihat seorang pun ada disana. Terkejut pun semakin menjadi-jadi bercampur panik tidak terkira. Mobil dihentikan bertepatan tidak jauh dari salah satu Pos Polisi. Si supir turun mobil untuk mengecek lebih detail. Bisa dipastikan perasaannya bagaimana saat itu. Bagaimana mungkin penumpang satu-satunya hilang. Bingung tiada terkira. Tidak tahu harus mengatakan apa.

Seorang petugas polisi yang sedang berjaga mendekati si supir. Bisa ditebak pertanyaan petugas, ada apa, Pak? Sepertinya sedang mencari sesuatu? Tentu saja jawaban sedikit lucu dan tidak masuk akallah yang akan didapat si petugas. Penumpang saya satu-satunya hilang, Pak. Tadi ada di dalam mobil tapi tiba-tiba menjadi tidak ada. Dengan jawaban seperti itu hanya alis mata si petugas yang akan merespon balik. 
Pada akhirnya solusi yang bisa diberikan adalah coba diingat-ingat dulu selama di perjalanan. Pernahkah berhenti untuk satu tujuan. Ya, hanya itu satu-satunya yang masuk akal sebagai jawaban dari semua yang terjadi. Tidak mungkin terucap kata-kata bahwa si penumpang menghilang di culik makhluk jadi-jadian. Balige! Kata itu yang terpikir oleh si supir. Cuma disana mobil berhenti. Putar kemudi, rubah arah. Kembali ke Balige.
 
Balige-Siantar normalnya ditempuh selama dua jam. Kalau benar si penumpang berada disana setidaknya dia akan menunggu selama empat jam. Selama perjalanan kembali perasaan si supir sudah tidak enak. Akal sehatnya seakan-akan menebak apa yang akan terjadi nanti ketika bertemu dengan bosnya. Satu kalimat yang sebenernya dia sudah pasrah menerima andaikata si bos berkata, berikan kunci mobil padaku dan cari sendiri jalanmu untuk pulang. Mau bagaimana lagi, itu sudah resiko yang harus siap diterima. Setidaknya dia sudah menyiapkan mental untuk semua kemungkinan buruk yang terjadi.

Benar saja. Tepat di posisi dimana dia membeli rokok si supir melihat bosnya tengah duduk sendiri di kursi warung kecil. Mobil menepi. Supir mematikan mesin lalu tertunduk lesu melangkah mendekati bosnya. Tidak tahu harus berkata apa selain ungkapan minta maaf sebagai kalimat pertama dan mungkin satu-satunya yang ingin dikatakan. Sebagai seorang bawahan bagaimana tidak merasa sangat bersalah. Karena kelalaiannya rencana si bos berantakan. Telat empat jam dari yang semestinya. Belum lagi penantian si bos ditengah malam, di tepi jalan yang sepi selama empat jam. Penantian untuk satu jam saja dengan kondisi seperti itu kepala siapapun bisa meledak.

Lain diduga lain yang terjadi. Ternyata si bos tidak marah sama sekali. Dia memaklumi bahwa yang terjadi bukan murni kesalahan si supir. Si supir justru hanya mencoba melaksanakan perintah awal dirinya untuk fokus tiba di Medan sesegera mungkin. Berhenti untuk membeli rokok sangat manusiawi. Seorang supir malam tanpa rokok itu menjadi aneh. Bagi mereka rokok adalah penghilang rasa kantuk nomor satu. Si bos sendirilah yang merasa dirinya penyebab keadaan itu. Tidak meberi tahu saat akan ke toilet. Si supir merasa lega karena tidak terjadi hal yang ditakutkannya. Meski akan berubah semua dari rencana awal tapi itu menjadi pelajaran unik untuknya.

Pertanyaan pun timbul, kenapa si bos tidak ditelepon saja ketika tertinggal? Cerita ini terjadi sekitar akhir tahun 90-an. Kala itu tentu handphone merupakan barang yang sangat mewah sehingga tidak semua orang memilikinya. Si bos mungkin memilikinya tapi tidak demikian dengan si supir. Jangankan memiliki handphone, harga kartu dan pulsanya saja kala itu sudah semahal handphone kelas menengah ditahun 2010 ke atas.

Selalu saja ada hikmah dibalik setiap peristiwa kalau kita bisa membacanya. Tidak lama setelah mereka memutuskan untuk kembali ke Kota Sibolga datanglah berita tentang kakak si supir yang menderita sakit keras. Tempatnya tidak terlalu jauh dari Balige dan tetap mengarah pada jalan pulang ke Sibolga meski memasuki satu pertigaan lagi, Dolok Sanggul. Si bos berbesar hati menawarkan agar mereka menuju ke tempat yang dimaksud.

Manusia begitu ahli dalam membuat rencana, namun tetap Dia lah yang menentukan akhir dari segalanya. Perjalanan mereka menuju Dolok Sanggul awalnya hanya ingin melihat dan menghibur kakak si supir yang sedang sakit, berharap dapat sembuh lebih cepat. Tapi akhirnya itu adalah sekaligus pertemuan mereka yang terakhir dengan yang ingin dikunjungi. Kakak si supir menghembuskan napasnya yang terakhir hari itu juga. Tiada yang dapat diperbuat. Semua adalah kehendak-Nya. Satu hal yang pasti ini menjadi salah satu hikmah dibalik yang terjadi sepanjang malam dan hari ini.(MS)
Share this article :

0 comments:

Watch Your Time

Check this All Label

Visitor

Flag Counter
 
Support : Proudly powered by Blogger
Copyright © 2014. LifeIsAStoryOfJourney - All Rights Reserved