-Thank You for Visiting-
Home » , » Mahar-Maskawin

Mahar-Maskawin

Written By Unknown on Wednesday 5 March 2014 | 16:21

Memudahkan Mahar, Itu Lebih Baik




Entah dimana pertama kali aku mendengar ungkapan sampai aku menyimpulkan kata-katanya; "cinta tidak bersyarat namun nikah banyak syaratnya". Lalu ada ungkapan lain yang mengiringi, "cinta boleh gratis namun nikah butuh modal". Kupikir semua itu harus diterima dengan hati terbuka. Itu benar dan hanya orang sakit yang bisa membantahnya. 

Kali ini aku ingin sedikit membuka kulit yang berkaitan dengan mahar, maskawin, hantaran, atau istilah lain serupa dengan itu, menurut kacamataku. Sampai saat ini aku memang belum berada pada subjek yang telah melalui proses itu. Semoga satu masa nanti diberi umur panjang dan sehat sehingga bisa mengalaminya sendiri. Aamiin. Meski begitu, tidak salah kiranya berpendapat sesuai dengan yang dialami orang lain, didengar dari berbagai kisah, dan sebagainya.

Jika merunut pada ajaran Islam yang kufahami (dengan segala keterbatasanku) Rasul mengajarkan agar setiap menikah seorang laki-laki mutlak memberikan maskawin meski itu hanya cincin besi.
#Oya, harus kugarisbawahi dulu bahwa poin yang akan kubicarakan khusus pada yang seirama yaitu mahar diberikan laki-laki kepada perempuan. Bukan sebaliknya. Sebab faktanya ada beberapa daerah di muka bumi ini kebalikannya. Mahar diserahkan perempuan kepada laki-laki. Berkaitan dengan itu di-skip saja.
Kembali ke pembahasan, maksud mahar diatas bukan berarti harus cincin besi, penekanannya adalah mahar itu wajib hukumnya sesuai kemampuan si laki-laki meski hanya sedikit. Lalu, apakah dianjurkan serendah-rendahnya nilai mahar?

Rasul pun mengajarkan tentang jumlah mahar dilihat dari sudut pandang perempuan, apa itu? Kata Rasul yang intinya adalah sebaik-baik wanita adalah yang memudahkan maharnya. Nah seperti apa maksud semua itu? Apakah menjadi anjuran bagi laki-laki untuk memberi mahar sekecil mungkin, sementara perempuan tidak dibolehkan meminta mahar lebih?

Yuk, kita fahami secara menyeluruh. Singkirkan dulu egoisme sepihak, entah itu dari egoisme gender hingga egoisme kebiasaan. Rasul memang menyampaikan kedua hal itu. Namun maksud sebenarnya tidak lain agar tujuan pernikahan itu tidak menjurus kepada orientasi memperkaya atau mempermiskin diri. Padahal sangat jelas diajarkan bahwa pernikahan itu sudah setengah agama. Apalagi ibadah yang lebih tinggi daripada itu!

Dikatakan mempermiskin diri adalah agar seorang laki-laki tidak serta merta mengikat seorang perempuan dalam pernikahan tanpa memiliki satu tanggung jawab yang kuat. Jangan diartikan, "mahar cincin besi saja" sudah cukup untuk melepas kewajiban menikah lalu tidak diteruskan dengan memenuhi kebutuhan hidup lain secara wajar. Itu sama saja mengajak seorang perempuan ke dalam lembah kesusahan.

Kemudian disebut memperkaya diri apalagi artinya? Kasus seperti ini tidak kalah sedikit jika dibandingkan dengan kasus mempermiskin diri. Bahkan mungkin kasus seperti ini lebih banyak menjerat sepasang manusia ke dalam lingkaran layu sebelum berkembang alias kegagalan sebelum menikah. Kasus yang biasa terjadi ketika si pihak perempuan meminta mahar dalam jumlah di luar batas kewajaran kemampuan si laki-laki. Nah, ini ribet ceritanya. Bisa melebar kemana-mana nanti imbasnya ketika ini terjadi. 

Banyak kemungkinan yang bisa ditelusuri. Pertama, bisa menemui jalan buntu dan tutup buku ketika kedua pihak sama-sama keras pada pendirian masing-masing. Kalau begini tuntas sudah. Tidak ada lanjutan kisah. Masing-masing meneruskan langkah sesuai kehendak sendiri-sendiri. Biasanya terjadi jika didukung pula oleh situasi si calon pasangan belum memiliki ikatan khusus dan kuat. Namun yang begini, jarang terjadi.

Kedua, pihak orang tua masih sama-sama keras dengan pendiriannya. Akan tetapi, si calon pasangan berjuang untuk melembutkan di sisi masing-masing. Baik si laki-laki maupun si perempuan mencoba melunakkan hati orang tua masing-masing. Bagaimana peluangnya? Bisa bermacam-macam juga. Singkatnya, ada yang berhasil dengan berbagai proses hingga bisa saja tercipta kesepakatan baru, atau ada yang tetap menemui jalan buntu dan tutup buku meski telah dilakukan berbagai upaya.

Ketiga, ini sebenarnya tidak direkomendasikan. Apa itu? Kawin lari. Berhubung kedua orang tua sama kerasnya, pada akhirnya si calon pasangan melakukan usaha ekstrim. Ya, bagaimana lagi. Pada situasi ini si calon pasangan biasanya telah melakukan upaya-upaya yang wajar dan baik, akan tetapi upaya mereka selalu terpentalkan. Maka, menikahlah di bawah tangan. Proses nikah umumnya tidak sempurna. Kalau sudah begitu urusan dengan orang tua akan lebih mudah. Menurut mereka.

Keempat, ini yang paling sangat tidak dianjurkan. Sayangnya, maaf ini benar-benar terjadi. Apa lagi itu? Mungkin di zaman setengah edan ini bukan hal yang baru ketika mendapati ada yang lima, enam atau tujuh bulan menikah sudah melahirkan. Begitulah intinya. Agar segala urusan lancar tanpa halangan kepada orang tua, menurut mereka, maka terjadilah hal yang semestinya tidak boleh yaitu hamil dulu. Bahkan, maaf, beberapa tanpa beban menyebutnya satu usaha dibayar dimuka. Hal ini terjadi memang jika sudah terlalu kebablasan. Sepasang manusia sudah kepalang dalam perasaannya. Didukung pula oleh moral yang amblas, iman berantakan, ikatan keluarga rapuh, dan entahlah. Hal itu bukan cuma isapan jempol. Aku secara pribadi juga pernah akrab dengan lingkungan seperti itu secara tidak langsung. Umumnya yang keempat ini banyak terjadi di daerah-daerah dengan tingkat angka mahar cukup tinggi.

Satu kisah antitesis dari fenomena keempat ini. Ternyata ada orang tua yang teramat sangat keras pada pendiriannya. Sekalipun fenomena keempat terjadi namun pernikahan yang diharapkan tidak terlaksana. Si orang tua perempuan rela menerima putrinya melahirkan tanpa ayah dari si bayi asalkan si laki-laki dipenjarakan. Zaman apa ini.

Kelima, keenam, aku sementara belum memikirkannya. Setidaknya itulah beberapa kemungkinan yang bisa terjadi dalam masyarakat kita secara umum jika kasusnya tersangkut pada angka mahar yang besar.

Lalu, bagaimana sih sebaiknya menyikapi perkara tentang mahar ini? Satu pertanyaan tidak mudah dijawab jika belum berada pada posisi penjawab. Otoritas menjawab lebih pada mereka yang akan menikahkan alias orang tua.

Mari kita lihat dari beberapa sudut pandang. Sebagian orang menganggap nilai mahar menentukan kelasnya, atau harga diri maupun gengsi. Saya seorang pejabat, seorang darah biru, keturunan raja atau bangsawan, ini itu, putri saya seorang sarjana, seorang dokter, seorang pegawai, seorang ini itu, dan seribu keterangan tambahan yang menempel pada diri orang tua atau si anak. Kalau situasi sudah seperti itu maka sudah sewajarnya mahar yang diperoleh sejumlah sekian kali sekian tambah sekian. 

Itu semua ditinjau dari pihak perempuan. Aku tidak berani menyalahkan mereka yang berpendapat seperti itu. Kupikir itu bisa dibenarkan jika dilihat dari faktor kebiasaan, budaya, harga diri, gengsi, nama besar dan seterusnya. Lalu bolehkah aku menyalahkan? Eits, ini perkara sensitif. Tunggu dulu, tahan dahulu.

Kini, kita tinjau dari sudut pandang si laki-laki. Maunya bagaimana? Apakah memang punya keinginan untuk memberi mahar sedikit meskipun punya kemampuan lebih? Atau kalau harus sedikit kasar, apakah ngotot ingin mempersunting seorang perempuan dengan tingkat sosial yang jauh di atas si laki-laki? Iya sih, kalau cinta memang tidak mengenal hal-hal begituan. Tapi, kembali ke baris pertama, menikah itu banyak syaratnya. Itu absolut. Tidak bisa dihindarkan. Cinta pakai banyak perasaan dan sedikit logika. Akan tetapi urusan menikah, cinta dan logika itu haram dipisahkan. Tetaplah berpikir jernih. Jika memang ingin menikah dengan golongan perempuan yang mempersyaratkan mahar sekian dan sekian, penuhilah dengan baik-baik atau mundurlah dan relakan dia kepada lak-laki lain yang lebih siap serta pantas. Pada intinya, sesuaikan diri juga. Sebagai pihak laki-laki juga berbuatlah sepantasnya. Sangat tidak wajar ketika akan mempersunting seorang perempuan dengan tingkat sosial yang baik ditambah latar belakang yang baik pula, hanya bermodalkan se-truk cinta dan sepotong coklat. I mean, ya tempatkanlah diri sesuai porsinya. Berikan lebih pada yang pantas mendapatkan lebih, atau berilah sewajarnya jika itu tidak menjadi beban pikiran semua pihak. Selesai.

Lalu bagaimana kah yang baik itu. Kalau aku berpendapat. Merujuk pada salah satu hadits, pernikahan yang paling besar keberkahannya adalah yang mudah maharnya. Ditambah, sebaik-baik perempuan adalah yang memudahkan maharnya. Jadi janganlah meminta dalam jumlah tidak wajar yang tidak mungkin atau menjadi beban berat untuk dipenuhi seorang laki-laki.

Sementara untuk laki-laki, sebaik-baik laki-laki adalah yang maharnya banyak jika tidak menjadi beban dan dilakukan dengan senang hati. Jadi, janganlah berniat memberi mahar sedikit padahal mampu memberi mahar lebih. Tirulah cara Rasul. Menikah dengan memberi mahar yang sangat banyak. Karena Rasul mampu melakukan itu atas izin Allah melalui orang-orang yang bersamanya. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat Rasul sendiri memberi mahar 20 ekor unta muda, riwayat lain ada juga menyebutkan 500 dirham. Bayangkan, itu sudah berapa rupiah.

Pada dasarnya semua orang harus menilai tujuan menikah adalah berdasarkan ajaran agama. Tingkat kemuliaan menikah melebihi kemuliaan lainnya. Tidak sebarispun diajarkan menikah untuk menjadi raja, menggabungkan dua perusahaan raksasa, membentuk koalisi partai, menguasai pasar ekonomi, atau apalah. Bukan itu.

Buruknya lagi ketika akan menikah dan menetapkan jumlah mahar sudah seakan-akan menjurus seperti transaksi jual beli. Putriku telah kubesarkan, kusekolahkan hingga sampai seperti ini. Sudah berapa banyak biaya yang kukeluarkan kepadanya, pendidikannya, ini itunya. Jadi, kalau ingin menikahinya harus menyiapkan mahar sekian sekian. Setidaknya itu dapat mengembalikan biayaku selama ini. Malapetaka! Begitulah kalau sudah uang menjadi penentu semuanya. Anak seolah-olah menjadi barang yang akan dijual dengan harga sekian. Patutkah begitu? Sudikah ketika nilai anak digantungkan pada jumlah mahar?

Selalu takjub pada orang tua yang mengesampingkan sudut pandang materi dalam pernikahan, khususnya orang tua si perempuan. Orang tua seperti itu ada meski sangat sedikit. Bagi mereka pernikahan yang baik akan melahirkan generasi yang baik. Asalkan si laki-laki memiliki agama yang baik itu sudah cukup. Kupikir itu masuk akal. Sebab kenapa? Ketika seseorang sudah memiliki agama yang baik, maka kebaikan lain akan mengikuti dengan sendirinya. Dia akan tahu seorang suami dituntut untuk memiliki tanggung jawab atas keluarganya. Seorang ayah punya kewajiban ini dan itu atas istri dan anak-anaknya. Itu sudah otomatis diketahui karena sangat menyadari bahwa agama yang dianutnya memang mengajarkan tentang itu dengan lengkap dan sempurna tanpa cela. Itulah kenapa sebenarnya pemahaman agamalah yang mesti menjadi dasar utama. Sayangnya, kita semua patut sedih dan mengoreksi diri, itu semua sudah menjadi urutan ke sekian. Malang sekali.

Satu kisah singkat kurang baik yang pernah ku dengar, tapi cukuplah diambil pelajaran. Satu ketika dalam pernikahan si A (laki-laki) dan si B (perempuan), keluarga si B meminta mahar yang sangat memberatkan si A dan orang tuanya. Akan tetapi, karena si A dan B sudah memiliki perasaan sangat dalam satu dan lainnya keduanya tidak ingin dipisahkan. Si B tidak punya daya dan upaya untuk melunakkan hati orang tuanya untuk mengurangi jumlah mahar yang dimaksud. Singkat cerita si A pun mengupayakan memenuhi keinginan orang tua si B dengan cara pinjam-meminjam kepada seluruh keluarga besar hingga pada akhirnya terkumpullah sesuai jumlah yang dimaksud. Sampai kemudian pernikahan yang diidam-idamkan pasangan ini terlaksana. 

Waktu berganti waktu, tahun pun berubah sampai pada satu saat salah seorang kerabat si laki-laki berkunjung ke rumah mereka. Mungkin memang ada perasaan terpendam atau semacam itu, terjadilah pertengkaran kecil dan selisih pendapat antara si tamu dan tuan rumah. Kala itu si suami sedang tidak ditempat. Dalam perdebatan itu terucaplah satu kalimat yang teramat sangat menyakitkan jika aku yang berdiri sebagai si istri. Kata-katanya kira-kira, asal kamu tahu saja bahwa aku juga berhak atas kamu, mahar untuk menikahimu sebagian besar adalah dari uangku.

Terlepas dari bagaimana status uang mahar itu apakah dipinjamkan atau diberikan, tetap saja kata-kata itu sangat menyayat hati si perempuan. Entahlah. Ibarat gunung meletus sak gunung-gunungnya ikut hancur ditambah bunyi guntur ditengah badai lalu semuanya menghantam ke dada. Seperti itu mungkin sakitnya. Apakah itu benar-benar ada? Who knows. (MS)
Share this article :

0 comments:

Watch Your Time

Check this All Label

Visitor

Flag Counter
 
Support : Proudly powered by Blogger
Copyright © 2014. LifeIsAStoryOfJourney - All Rights Reserved