-Thank You for Visiting-
Home » , » Guru, Antara Mendidik dan HAM

Guru, Antara Mendidik dan HAM

Written By Unknown on Tuesday 11 February 2014 | 10:05




Guru, pahlawan yang tiada tertandingi jasanya. Ketinggian jasanya sampai tidak bisa dibandingkan dengan perhargaan apapun. Pahlawan tanpa tanda jasa akhirnya menjadi gelar tertinggi yang mampu disematkan. Pada satu sisi gelar ini seperti bukan gelar apa-apa atau gelar kosong, namun aku lebih menilai sebagai gelar paling tinggi yang tiada bandingan dan tandingan.
Kemarin, kini dan seterusnya apakah guru masih layak disebut sebagai pahlawan? Satu jawaban pasti adalah iya. Akan tetapi zaman berganti zaman tantangan menjadi seorang guru tidaklah selalu sama. Lalu kapankah zaman terbaik profesi guru ini? Apakah zaman orang-orang tua kita atau orang tua dari orang tua kita atau zaman-zaman sebelumnya, yang kata mereka zaman itu seorang guru sangat disegani. Melihat dari kejauhan saja para murid atau siswanya sudah ketar-ketir, A kata guru maka A kata siswa, saking dianggap bagus. Atau zaman sekarang dan zaman yang akan datang?
Masing-masing zaman punya cerita tersendiri. Tentunya punya sisi baik maupun buruk ditinjau dari metode mendidik hingga fasilitas yang ada. Namun yang menjadi titik tekan mestinya adalah kualitas didikan.
Berbicara tentang zaman sekarang ini aku punya pendapat berdasarkan apa yang kudengar langsung dari beberapa sumber. Ini bisa mewakili yang sebenarnya atau mungkin dicukupkan pada kalangan tertentu yang mengalami sendiri.
Harus kita akui bahwa mendidik orang itu tidak selamanya dapat dilakukan dengan cara yang lemah lembut. Seharusnya bin semestinya cara yang paling sempurna adalah dengan lemah lembut dan dengan perasaan penuh kasih sayang yang dimulai sejak dini sekali bahkan sejak dalam kandungan, kemudian bayi yang masih hijau, balita, hingga seorang anak mulai berinteraksi dengan teman-teman seumurannya dimasa awal sekolah. Itu harus dilakukan oleh setiap orang tua. Bagaimanapun, rumah adalah pembentuk paling dasar pondasi karakter seorang anak. Mau tidak mau, siap tidak siap orang tua memiliki tugas dan tanggung jawab penuh untuk itu. Kalau itu sudah dijalankan dengan penuh rasa cinta serta kelemahlembutan orang tua dipastikan bahwa mendidik semua anak wajib dengan penuh kelembutan pula dimasa-masa selanjutnya.
Sayangnya, itu tidak terjadi kepada semua anak didik yang sudah masuk ke bangku sekolah. Tidak bermaksud pesimis, mungkin bisa dikatakan ini sudah sangat minim, sekarang ini. (Meski begitu jiwa optimisme harus tetap ditanam bahwa era yang lebih baik pasti bersama kita, bisa kini atau nanti). Dampaknya, beberapa anak berhasil dididik dengan kelembutan namun lebih banyak anak harus dididik dengan sedikit keras atau bahkan keras sekali. Kita harus membagi pula tingkat keras disini ke dalam beberapa jenjang. Akan menjadi salah kalau mengartikan cara keras ini sama dengan kekerasan kriminal atau ala preman tanpa tujuan mendidik. Secara objektif kita pisahkan bahwa memang dalam beberapa hal seorang anak perlu dikerasi secara fisik. Contohnya bisa dengan disuruh push up, berlari keliling lapangan upacara, dipukul bagian tertentu tubuh pun secara wajar tanpa menyakiti dan memberi bekas masih bisa ditoleransi, begitu juga dicubit atau semacam itu.
Akan tetapi inilah yang menjadi masalah serius saat ini. Ketika terjadi hal-hal yang berbau kekerasan, maka seorang guru harus bersiap-siap menghadapi yang namanya pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia). HAM telah menjadi tuhan pada banyak kasus. HAM menjadi penentu apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan kepada seseorang. Begitu tingginya nilai HAM sehingga benar-benar membuat guru kehilangan hak-hak yang semestinya boleh dimiliki. Kenapa demikian? Karena sepertinya tidak ada batasan yang jelas mana yang melanggar HAM mana yang tidak.
Kalau dibandingkan dengan skala sangat luas, ketika terjadi pembantaian golongan satu bangsa oleh bangsa lain, ketika seluruh negeri porak-poranda karena diperangi oleh negara tertentu, ketika satu ummat manusia terus-menerus direnggut haknya sampai sekecil-kecilnya hak dan banyak kejadian serupa, tidak ada yang sanggup mengatakan itu melanggar hak asasi manusia. Bahkan negara yang kabarnya paling mengagungkan hak asasi manusia justru bertindak melanggar seenaknya. Berbeda ketika negaranya disentil sedikit maka sentilan itu akan menjadi pelanggaran terbesar sepanjang masa. Itu merupakan beberapa contoh luas tentang pelanggaran hak asasi yang dianggap bukan sebuah pelanggaran.
Kemudian, apa yang dialami oleh guru? Tentu perbandingannya masih sangat jauh daripada contoh diatas. Hanya saja akibatnya kepada si guru lebih berat. Dengan satu bekas cubitan dipinggang anak didik maka seorang guru sudah dihantui oleh bayang-bayang sel penjara karena tidak lama lagi orang tua si anak didik akan membuat laporan ke kantor polisi terdekat dengan tuduhan pelanggaran HAM, penganiayaan atau perbuatan tidak menyenangkan. Seterusnya dengan lancarnya kasus ini mengalir ke meja hijau yang pada akhirnya memang benar-benar terjadi. Guru bukan lagi dibayang-bayangi oleh sel penjara melainkan sudah merasakan langsung perihnya berada di dalam si jeruji besi.
Disini satu bekas cubitan bisa membuat hancurnya masa depan, nama baik dan sakitnya hidup di penjara. Disana, pembantaian, peperangan, pemberangusan sampai ke banyak generasi justru mendapat penghargaan bintang di pundak. Seperti itulah satu sisi HAM dalam pandangan umum.
Memang tidak jarang guru menghukum seorang anak didik sampai memberikan bekas fisik dan mental. Kita harus benar-benar mampu menanggapinya dengan bijaksana. Kita juga harus mengakui bahwa cara mendidik setiap anak tidak sama. Variasi cara mendidik guru kepada anak didik dengan berbagai latar belakangpun harus toleransi. Guru memang tidak diberikan hak untuk berbuat seenaknya, guru juga tidak selamanya benar dalam mendidik murid-muridnya, akan tetapi sebagai pihak yang menitipkan anak untuk dididik seorang guru perlu kiranya tidak dengan mudah menabrakkan perbuatan guru dengan pelanggaran HAM. Tidak dibenarkan juga dengan instan menghubungkan cara menghukum seorang guru dengan pelanggaran hukum.
Pada akhirnya dampak dari semua ini menjadi berantai. Semua menjadi rugi. Bisa jadi seorang guru tidak lagi mendidik dengan sungguh-sungguh. Kepedulian terhadap anak menjadi merosot. Jauh di dalam hatinya terbersit ucapan, yang penting tugas selesai gaji lancar, mau si anak pintar atau tidak, masa bodoh. Kalau sekiranya ini terus menjadi permasalahan yang berulang-ulang bukan tidak mungkin pada satu dua generasi berantakan. Lahir generani yang minim pengetahuan dasar, moral buruk, disiplin amburadul atau tercipta pula anak didik kebal dari aturan. Sedikit-sedikit HAM, berbenturan sedikit lapor polisi, tidak ada lagi kata patuh kepada guru dan segala aturan sekolah. Jika harus terjadi semoga tidak terjadi di zaman ini hingga seribu zaman lagi.
Kalau pun harus ada penentangan atas cara mendidik guru dengan pemikiran orang tua, alangkah arif apabila semua pihak duduk bersama saling mendengar dan menjelaskan. Tidak jarang terjadi salah faham yang justru menjerumuskan berbagai pihak karena hanya mendengar dari satu pihak saja.
Urusan mendidik anak tetaplah ditangan orang tua yang paling utama. Kewajiban itu tetap melekat ketika si anak sedang dititipkan di sekolah dan guru. Dengan mengetahui tujuan utama mendidik, maka setiap pihak yang merasa dengan mudah menganggap setiap kasus adalah pelanggaran HAM segera mengevaluasi diri.(MS)
Share this article :

0 comments:

Watch Your Time

Check this All Label

Visitor

Flag Counter
 
Support : Proudly powered by Blogger
Copyright © 2014. LifeIsAStoryOfJourney - All Rights Reserved