Guru, pahlawan yang tiada tertandingi jasanya. Ketinggian jasanya sampai tidak bisa dibandingkan dengan perhargaan apapun. Pahlawan tanpa tanda jasa akhirnya menjadi gelar tertinggi yang mampu disematkan. Pada satu sisi gelar ini seperti bukan gelar apa-apa atau gelar kosong, namun aku lebih menilai sebagai gelar paling tinggi yang tiada bandingan dan tandingan.
Kemarin, kini dan seterusnya apakah
guru masih layak disebut sebagai pahlawan? Satu jawaban pasti adalah
iya. Akan tetapi zaman berganti zaman tantangan menjadi seorang guru
tidaklah selalu sama. Lalu kapankah zaman terbaik profesi guru ini?
Apakah zaman orang-orang tua kita atau orang tua dari orang tua kita
atau zaman-zaman sebelumnya, yang kata mereka zaman itu seorang guru
sangat disegani. Melihat dari kejauhan saja para murid atau siswanya
sudah ketar-ketir, A kata guru maka A kata siswa, saking dianggap
bagus. Atau zaman sekarang dan zaman yang akan datang?
Masing-masing zaman punya cerita
tersendiri. Tentunya punya sisi baik maupun buruk ditinjau dari
metode mendidik hingga fasilitas yang ada. Namun yang menjadi titik
tekan mestinya adalah kualitas didikan.
Berbicara tentang zaman sekarang ini
aku punya pendapat berdasarkan apa yang kudengar langsung dari
beberapa sumber. Ini bisa mewakili yang sebenarnya atau mungkin
dicukupkan pada kalangan tertentu yang mengalami sendiri.
Harus kita akui bahwa mendidik orang
itu tidak selamanya dapat dilakukan dengan cara yang lemah lembut.
Seharusnya bin semestinya cara yang paling sempurna adalah dengan
lemah lembut dan dengan perasaan penuh kasih sayang yang dimulai
sejak dini sekali bahkan sejak dalam kandungan, kemudian bayi yang
masih hijau, balita, hingga seorang anak mulai berinteraksi dengan
teman-teman seumurannya dimasa awal sekolah. Itu harus dilakukan oleh
setiap orang tua. Bagaimanapun, rumah adalah pembentuk paling dasar
pondasi karakter seorang anak. Mau tidak mau, siap tidak siap orang
tua memiliki tugas dan tanggung jawab penuh untuk itu. Kalau itu
sudah dijalankan dengan penuh rasa cinta serta kelemahlembutan orang
tua dipastikan bahwa mendidik semua anak wajib dengan penuh
kelembutan pula dimasa-masa selanjutnya.
Sayangnya, itu tidak terjadi kepada
semua anak didik yang sudah masuk ke bangku sekolah. Tidak bermaksud
pesimis, mungkin bisa dikatakan ini sudah sangat minim, sekarang ini.
(Meski begitu jiwa optimisme harus tetap ditanam bahwa era yang lebih
baik pasti bersama kita, bisa kini atau nanti). Dampaknya, beberapa
anak berhasil dididik dengan kelembutan namun lebih banyak anak harus
dididik dengan sedikit keras atau bahkan keras sekali. Kita harus
membagi pula tingkat keras disini ke dalam beberapa jenjang. Akan
menjadi salah kalau mengartikan cara keras ini sama dengan kekerasan
kriminal atau ala preman tanpa tujuan mendidik. Secara objektif kita
pisahkan bahwa memang dalam beberapa hal seorang anak perlu dikerasi
secara fisik. Contohnya bisa dengan disuruh push up, berlari keliling
lapangan upacara, dipukul bagian tertentu tubuh pun secara wajar
tanpa menyakiti dan memberi bekas masih bisa ditoleransi, begitu juga
dicubit atau semacam itu.
Akan tetapi inilah yang menjadi
masalah serius saat ini. Ketika terjadi hal-hal yang berbau
kekerasan, maka seorang guru harus bersiap-siap menghadapi yang
namanya pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia). HAM telah menjadi tuhan
pada banyak kasus. HAM menjadi penentu apa yang boleh dilakukan dan
tidak boleh dilakukan kepada seseorang. Begitu tingginya nilai HAM
sehingga benar-benar membuat guru kehilangan hak-hak yang semestinya
boleh dimiliki. Kenapa demikian? Karena sepertinya tidak ada batasan
yang jelas mana yang melanggar HAM mana yang tidak.
Kalau dibandingkan dengan skala
sangat luas, ketika terjadi pembantaian golongan satu bangsa oleh
bangsa lain, ketika seluruh negeri porak-poranda karena diperangi
oleh negara tertentu, ketika satu ummat manusia terus-menerus
direnggut haknya sampai sekecil-kecilnya hak dan banyak kejadian
serupa, tidak ada yang sanggup mengatakan itu melanggar hak asasi
manusia. Bahkan negara yang kabarnya paling mengagungkan hak asasi
manusia justru bertindak melanggar seenaknya. Berbeda ketika
negaranya disentil sedikit maka sentilan itu akan menjadi pelanggaran
terbesar sepanjang masa. Itu merupakan beberapa contoh luas tentang
pelanggaran hak asasi yang dianggap bukan sebuah pelanggaran.
Kemudian, apa yang dialami oleh
guru? Tentu perbandingannya masih sangat jauh daripada contoh diatas.
Hanya saja akibatnya kepada si guru lebih berat. Dengan satu bekas
cubitan dipinggang anak didik maka seorang guru sudah dihantui oleh
bayang-bayang sel penjara karena tidak lama lagi orang tua si anak
didik akan membuat laporan ke kantor polisi terdekat dengan tuduhan
pelanggaran HAM, penganiayaan atau perbuatan tidak menyenangkan.
Seterusnya dengan lancarnya kasus ini mengalir ke meja hijau yang
pada akhirnya memang benar-benar terjadi. Guru bukan lagi
dibayang-bayangi oleh sel penjara melainkan sudah merasakan langsung
perihnya berada di dalam si jeruji besi.
Disini satu bekas cubitan bisa
membuat hancurnya masa depan, nama baik dan sakitnya hidup di
penjara. Disana, pembantaian, peperangan, pemberangusan sampai ke
banyak generasi justru mendapat penghargaan bintang di pundak.
Seperti itulah satu sisi HAM dalam pandangan umum.
Memang tidak jarang guru menghukum
seorang anak didik sampai memberikan bekas fisik dan mental. Kita
harus benar-benar mampu menanggapinya dengan bijaksana. Kita juga
harus mengakui bahwa cara mendidik setiap anak tidak sama. Variasi
cara mendidik guru kepada anak didik dengan berbagai latar
belakangpun harus toleransi. Guru memang tidak diberikan hak untuk
berbuat seenaknya, guru juga tidak selamanya benar dalam mendidik
murid-muridnya, akan tetapi sebagai pihak yang menitipkan anak untuk
dididik seorang guru perlu kiranya tidak dengan mudah menabrakkan
perbuatan guru dengan pelanggaran HAM. Tidak dibenarkan juga dengan
instan menghubungkan cara menghukum seorang guru dengan pelanggaran
hukum.
Pada akhirnya dampak dari semua ini
menjadi berantai. Semua menjadi rugi. Bisa jadi seorang guru tidak
lagi mendidik dengan sungguh-sungguh. Kepedulian terhadap anak
menjadi merosot. Jauh di dalam hatinya terbersit ucapan, yang penting
tugas selesai gaji lancar, mau si anak pintar atau tidak, masa bodoh.
Kalau sekiranya ini terus menjadi permasalahan yang berulang-ulang
bukan tidak mungkin pada satu dua generasi berantakan. Lahir generani
yang minim pengetahuan dasar, moral buruk, disiplin amburadul atau
tercipta pula anak didik kebal dari aturan. Sedikit-sedikit HAM,
berbenturan sedikit lapor polisi, tidak ada lagi kata patuh kepada
guru dan segala aturan sekolah. Jika harus terjadi semoga tidak
terjadi di zaman ini hingga seribu zaman lagi.
Kalau pun harus ada penentangan atas
cara mendidik guru dengan pemikiran orang tua, alangkah arif apabila
semua pihak duduk bersama saling mendengar dan menjelaskan. Tidak
jarang terjadi salah faham yang justru menjerumuskan berbagai pihak
karena hanya mendengar dari satu pihak saja.
Urusan mendidik anak tetaplah
ditangan orang tua yang paling utama. Kewajiban itu tetap melekat
ketika si anak sedang dititipkan di sekolah dan guru. Dengan
mengetahui tujuan utama mendidik, maka setiap pihak yang merasa
dengan mudah menganggap setiap kasus adalah pelanggaran HAM segera
mengevaluasi diri.(MS)
0 comments:
Post a Comment