-Thank You for Visiting-
Home » , , » Maling Siang Bolong

Maling Siang Bolong

Written By Unknown on Thursday 19 June 2014 | 11:27

Aktor Utama Menangkap Maling Siang Bolong



Modus mencuri memang semakin banyak, meski kadang-kadang polanya hanya berulang.

Kupikir ini satu kisah sangat langka yang pernah ku alami. Bisa dipastikan hanya sedikit sekali orang memiliki pengalaman seperti ini.

Langsung saja, Hari Minggu pagi sekitar pukul 10 aku duduk berdua bersama ibu. Meski ada televisi yang menyala namun kami lebih banyak berbagi cerita. Tepatnya aku lebih banyak mendengar semua yang disampaikan ibu. Apa yang dibicarakan, pasti sangat penting. Khususnya tentang masa depan. Anyway, itu bukan poin utama dalam cerita ini.

Sedang asyik ngobrol tiba-tiba seseorang asing akan masuk ke rumah dari pintu depan. Begitu ibu melihat kedatangannya, lalu ia mendadak ingin menanyakan alamat. Sebagai gambaran kondisi rumah, dari pintu depan tidak bisa langsung melihat ke posisi kami sedang duduk kecuali badan agak di geser sejajar ke arah pintu dan posisi ibu paling tepat untuk itu, sedangkan aku terlalu jauh. Ibu sebenarnya sedikit kaget karena si orang asing menyatakan maksudnya setelah sebelah kakinya masuk ke dalam rumah dan ibu melihat dia. Bukankah itu sedikit aneh. Apalagi si orang asing tanpa pemberitahuan dan salam dari depan teras langsung nyerobot masuk ke dalam rumah meski baru selangkah.

Sebenarnya masih wajar jika disebut tamu, namun pengucapan kata orang asing juga tidak buruk-buruk amat mengingat orang ini memang bukan orang sekitar meski hanya ingin bertanya alamat.

Ibu segera memintaku agar menemui si tamu. Tanpa menaruh curiga apapun ku sapa si tamu yang berperawakan sedang, lebih kecil dariku, berumur sekitar 20-25 tahun. Benar saja, dia menanyakan alamat seseorang. Sampai pada titik ini, aku menganggap semua wajar-wajar saja. Dia menanyakan alamat seseorang bernama Dedy dengan pekerjaan tukang antar ikan, kalau bahasa kerennya distributor ikan. Kebetulan nama itu tidak ada di sekitar lingkungan kami. Barangkali aku yang kurang informasi bertanya pada ibu yang ternyata juga tidak tahu. Kususul dengan pertanyaan, si Dedy itu anak siapa atau punya anakkah. Maksudnya tidak lain agar lebih rinci. Sebab beberapa orang mungkin lebih kenal orang tua, atau anaknya. Jawaban si tamu ini masih wajar. Dedy yang dimaksud masih lajang dan dia tidak tahu nama orang tuanya.

Aku kemudian menyusul dengan pertanyaan, alamat yang dimaksud dimana, apakah di dekat sekolah, dekat mesjid, dekat rumah siapa, atau bagaimana? Nah, pada titik ini aku mulai tertanya dalam hati mendengar jawabannya. Dedy hanya mengatakan dia tinggal di desa ini. That's it. Jawaban seperti apa itu, pikirku. Ada yang aneh sepertinya. Desa ini bukan seratus meter persegi atau hanya lima keluarga. Kalau hanya jawaban begitu bukankah sangat mengambang dan konyol sekali. Aku mulai berpikir ada yang tidak beres dengan orang ini. Tanpa diperpanjang ia lalu pamitan.

Seperti spontanitas atau analisis kilat berdasar pengalaman dan pemahaman psikologis perilaku (buset dah bahasanya) aku mulai masuk kamar depan dan mengamati si orang asing melalui jendela. Saat bersamaan ibu juga memintaku agar memperhatikan si orang asing. Seperti sehati dengan perasaan ibu, kami punya penilaian serupa. I am doing, Mom.

Apakah pada posisi aku mengawasi dari balik jendela dan ventilasi termasuk dalam berburuk sangka ya? 

Masih dalam pengawasanku si orang asing berjalan ke arah timur rumah. Sekitar seratus meter berhenti di antara dua rumah tetanggaku, pandang kanan dan kiri lalu kembali memutar balik ke arah rumahku. Aku semakin seksama mengamati. Ibu juga masih memberikan arahan agar aku terus mengawasi. Yess Mom, I am.

Tepat dipertengahan jalan antara rumahku dan posisi memutar arah tadi, si orang asing berbelok ke salah satu rumah tetanggaku. Tepat tiga rumah di sebelah kiri rumahku. Ia melangkah tenang ke pintu rumah yang terbuka. Tanpa sepatah kata dia berdiri di depan pintu sambil memandang ke dalam. Ia bergeser mengamati sisi lain rumah bahkan jendela kamar. Wah, aku semakin yakin pada dugaanku.

Saat bersamaan sebenarnya ada seorang ibu tetangga bersama beberapa anak balita bermain di teras rumah mereka. Akan tetapi, posisi si ibu terhalang tembok dan salah satu bocah kecil menyadari keberadaan si orang asing. Penglihatanku si bocah kecil sempat menyampaikan apa yang dilihat kepada ibunya. Cuma ibunya tidak ambil pusing.

Si orang asing kembali ke posisi berdiri di depan pintu, pandang kiri kanan lagi bahkan sangat sadar melihat bocah kecil yang memandangnya, lalu tanpa sepatah kata dia masuk ke rumah tetanggaku. Binggo, this is the moment. Sesaat setelah masuk aku menyampaikan pada ibu sambil terus mengawasi bahwa dugaan kita benar, ibu. Ibu menjadi agak surprise atau shock. Lilbit panic.

Niat awalku adalah mengawasi saja sampai nanti si orang asing keluar lalu kukejar. Istilah KPK, operasi tangkap tangan. Namun, ibu memberi pandangan berbeda. Ibu menduga kakak tetangga ini hanya seorang diri di rumah. Sementara suaminya sedang di acara adat nikahan tetangga. Masuk akal juga. Sebab memang sejak tadi beberapa tetangga, khususnya orang-orang tua sedang menghadiri acara adat "mangan suhut" salah seorang tetangga kami yang berjarak sekitar seratusan meter dari rumah. Pertimbangan ibu kuikuti. Segera ambil langkah menuju TKP (Tempat Kejadian Perkara).

Strike. Begitu tiba di TKP aku mengamati tidak ada aktivitas di ruang tamu. Artinya si orang asing tidak disambut. Mohon maaf, tanpa salam aku masuk ke dalam rumah. Aku dua suara yang kudengar jelas. Satu suara grasak grusuk dalam kamar, satu lagi suara lagi wajan yang sedang menggoreng. Got it. Bisa disimpulkan sendiri situasi terkini. Kubuka pintu kamar, ada dua asumsi. Jika dia tidak di belakang pintu yang sedang kubuka, berarti ada di bawah tempat tidur.

Tangan kiriku memegang gagang pintu kamar. Aku memanggil kakak tuan rumah yang memang sedang masak. Ia sedikit kaget melihatku yang tiba-tiba muncul dalam rumahnya. Lebih kaget lagi ketika kuberbisik ada seorang maling dalam kamar mereka. Wah, can you imagine this situation, ha!

Si kakak segera memanggil suaminya yang ternyata sedang tidur di kamar belakang. Di sisi lain ibu yang juga mengikutiku sejak tadi bergegas memanggil ibu-ibu tetangga sekitar. Kejadian ini berjalan cukup cepat, beberapa orang mulai ramai di luar. Aku masih sendiri di depan pintu kamar sampai kemudian si orang asing menarik daun pintu pelan sambil memandang sayu ketakutan dihadapanku. Ampun Bang, ucapnya sambil merapatkan kedua tangan di depan dada. Sebelumnya tampak ia seperti baru mengenakan celana. Aku agak bingung pada posisi itu, apakah ia baru menyembunyikan sesuatu atau belum sempat menyembunyikan keburu ketahuan, atau mungkin memang ada aji khusus yang mungkin bisa membuat tubuhnya menghilang. Repeat, can you imagine this situation?

Pertanyaan besarnya, apa yang akan kamu lakukan pada situasi seperti ini jika kamu berada di posisiku?
Ternyata 10 dari 9 orang punya pendapat sama. Apa itu? Tidak lain adalah brak, bruk, pak, puk, jebret, gubrak, gerebak gerebuk aka. hajar, pukul, sikat, kalau mau lebih ekstrim bakar, mutilasi, entahlah. Something like that lah.

Tapi, salahkah aku, cemenkah aku, lemahkah aku, cupukah aku, lugukah aku, segitu pengibakah aku, dll, jika ternyata aku tidak melakukan itu!

Kucengkeram bajunya pada bagian dada. Lalu yang terjadi seakan seperti dialog ringan, kamu ngapain disini, sampai masuk kamar begini, dan bla...bla.. Tidak ada teriakan keras, makian romantis, amukan merdu, kata-kata kasar nan indah. Tidak ada. Memang sih beberapa saat kemudian suami si kakak muncul dalam tampilan orang khas bangun tidur. Sempat beberapa kali memberi pelajaran singkat pada tubuh si maling.

Menit demi menit rumah mulai ramai. Masalahnya yang pada datang adalah ibu-ibu dan bocah kecil. Selain omelan ringan, mereka malah lebih banyak memberi nasehat bijak atau dialog hati ke hati. Para lelaki mana? Kemungkinan masih tidur karena begadang nonton piala dunia, atau mulai menyibukkan diri di acara pernikahan. Pun begitu dua tiga lelaki yang datang kemudian juga memberi pelajaran tambahan. Sambil bertanya dia siapa, nama, asal, dan bla bla. Jawabannya bisa ditebak, muter kemana-mana dengan berbagai teori amburadul. Berubah-ubah sampai kemudian setelah mendapat pelajaran cukup keras baru mengaku. 

Para tetangga yang datang mulai menghubungi aparat terkait. Salah seorang tetangga berprofesi sebagai polisi yang juga ada diacara pernikahan segera datang.

Sudah seberapa ramai? Aku yang sejak awal belum keluar rumah mencoba melihat keadaan di luar setelah pak polisi datang. Tidak terlalu ramai, perkiraanku hanya mendekati angka seratus orang. Pemuda dan para orang tua juga sudah meramaikan acara maling siang bolong, mengimbangi jumlah ibu-ibu dan anak-anak yang sudah sejak awal mendapat kursi depan.

Beberapa kali aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan serupa. Bagaimana, seperti apa, siapa. Ibu ternyata tidak kalah heboh. Sudah seperti selebriti yang sedang konferensi pers menjawab pertanyaan tetangga. Kupikir ibu juga tentu paling tahu kronologis cerita seperti aku.

Dilema pun terjadi kemudian. Beberapa orang pemuda, atau sebut saja semua pemuda yang terlambat datang ke lokasi menyesal tidak sempat memberi pelajaran sepukul dua pukul pada si maling. Tujuan mereka datang sebenarnya adalah untuk menghajar. Sayang seribu sayang pak polisi sudah ambil posisi. Sehingga tidak mungkin melakukannya. Mereka sangat kesal tidak bisa partisipasi aktif.

Beberapa ucapanpun terdengar, senang sekali si maling itu keluar dengan wajah mulus seperti kaca. Kata yang lain, beruntung sekali dia seperti baru keluar salon tidak ada bekas apa-apa pada wajahnya. Di satu sisi sih wajar mereka seperti itu, selain karena maling memang perlu diberi pelajaran juga karena beberapa waktu lalu sempat kejadian pencurian di desa ini, sampai-sampai mereka harus mengadakan ronda setiap malam.

Dilema sebenarnya ada pada diriku, mendengar begitu semangatnya mereka ingin memukul si maling, aku yang berada pada posisi full power plus full opportunity malah santai ae. 

Sisi lain diriku juga merasa panas mendengar curhatan teman-teman. Kalau seperti ini si maling dan kawan-kawan akan mengulangi lagi datang kemari karena warganya baik-baik. Jika di tempat lain minimal wajah bukan wajah, kaki bukan untuk berjalan, tangan bukan untuk berpegangan. Atau lebih sadis lagi, badan tanpa nyawa. Seram uiy. Tapi disini ya begitu, wajahnya masih seperti boyband

Pendapat teman-teman, meski akhirnya memang si pelaku dibawa polisi setelah dihubungi, namun belum tentu ada hukuman berarti. Seminggu kemudian juga akan bebas. Terlebih dia belum membawa apa-apa. Hatiku kesal juga jadinya pada diri sendiri, sisi lain diri. Terlebih menurut pengakuannya si pelaku sudah dua kali di penjara.

Masih banyak bentuk kekesalan dan kekecewaan teman-teman pemuda karena tidak sempat memberi pelajaran pada si maling. 
What about you?

Meski dilema dan ada kesan negatif atas tindakanku sebagai aktor utama yang tidak mengapa-apai si maling di depan mata, aku harus membesarkan hati bahwa ungkapan bijak mengatakan orang kuat adalah yang bisa tidak menghukum meski punya kekuatan untuk melawan dan membalas.

Disamping itu, jika sedikit merunut pada hukum aku sebenarnya sudah melakukan hal yang benar. Kenapa? sebab jika menghajar orang yang berada pada posisi lemah dan tidak melawan itu bisa berarti kita yang salah. Akan berbeda jika dia melawan atau kabur. Sementara ini, dia sudah bertingkah seperti anak kucing yang menyerah pasrah dan hampir putus asa, bahkan sempat berucap dari mulutnya sepertinya dia akan mati hari ini, dihajar massa.

Kata pak polisi, jika sekiranya dia dihajar sampai babak belur porak-poranda lalu keluarganya menuntut para pelaku karena menganiaya padahal dia tidak melawan dan tidak pula kabur, maka bisa jadi mereka menang. Yah, begitulah bahasa hukum. Setuju tidak setuju, kadang-kadang memang bertolak belakang dengan pandangan masyarakat awam hukum, jika ada maling tertangkap hajar dulu. Seterusnya bagaimana, itu urusan belakang. Begitu prinsip masyarakat.

*****

Beberapa cerita kemudian. Dari ibu, yang mengikuti aku sejak awal ternyata khawatir kalau-kalau terjadi perlawanan aku bisa kalah. Ah, ibu bisa saja khawatirnya.

Dari ayah, tadi ketika pertama kali menangkap kamu perhatiin gerak tangannya kan? Harus tetap awas jika tiba-tiba dia memiliki pisau di kantongnya. Wah, kupikir kata-kata ayah ada benarnya. Mudah-mudahan memang medan cukup terkondisikan saat kejadian.
Pendapat kedua cukup lucu kupikir, kata ayah mungkin si maling merasa sangat kaget ketika aku menangkap basah si pelaku. Barangkali dalam hati si pelaku, loh kok kamu lagi, bukankah kamu tadi ada di rumah sono, sekarang kok udah di depan mataku saja, kamu cerdas amat ya udah ngincar aku sejak awal.

More or less, banyak hikmah dan cerita berkesan kemudian bagiku dan keluargaku khususnya. Sempat pak polisi berpesan agar siap-siap saja jadi saksi, no problem i think. Kesan terbesar tentunya menangkap basah maling seorang diri itu rasanya istimewa.(MS)
Share this article :

0 comments:

Watch Your Time

Check this All Label

Visitor

Flag Counter
 
Support : Proudly powered by Blogger
Copyright © 2014. LifeIsAStoryOfJourney - All Rights Reserved