-Thank You for Visiting-
Home » , , , » Profesi dan Karir Sebagai Ibu Rumah Tangga

Profesi dan Karir Sebagai Ibu Rumah Tangga

Written By Unknown on Monday 10 March 2014 | 15:08

Menjadi Ibu, Karir Terbaik dan Termulia Wanita




Banyak sekali pembicaraan tentang persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan, emansipasi wanita hingga penyamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dari sekian pembicaraan itu banyak yang berjalan dengan perdebatan. Pro kontra kembali mengambil peran.

Bagaimana pendapatku tentang ini? Waw...Ini perkara yang sangat sensitif. Hanya ada dua jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan. Diluar itu, akal sehatku belum mampu mencernanya. Jadi, jika salah bicara tentang tema ini bisa menjadi musuh bagi satu pihak.

Anyway, aku hanya ingin menuangkan sedikit pengetahuanku tentang ini. Ajaran agama yang kufahami, didukung pula oleh logika berpikir serta kewajaran dalam kehidupan sehari-hari, aku memutuskan untuk benar-benar percaya bahwa laki-laki dan perempuan tidak perlu benar-benar disamaratakan. Entah itu hak, kewajiban, tugas, amanah, tanggung jawab dan sebagainya. Masing-masing punya ladang sendiri. Bisa jadi ladang itu boleh digarap bersama namun tetap ada ladang yang lebih baik digarap salah seorang saja. Si laki-laki kah atau si perempuan.

Secara fisik, jelas laki-laki dan perempuan berbeda. Perbedaan ini melahirkan fungsi dan peran sendiri. Itu saja sudah sangat jauh bedanya. Morfologi dan anatomi keduanya diciptakan dengan kemampuan serta tujuan masing-masing. Okelah, kita abaikan dulu faktor fisik. Kita tinjau dari sudut pandang lain lagi.

Agama mengajarkan adalah tugas laki-laki untuk mencari nafkah untuk menghidupi anak dan isrinya. Dalam hukum dan undang-undang semua negara juga mengikuti aturan yang sama. Kewajiban laki-laki memenuhi kebutuhan keluarga. Belum pernah ada tersiar kabar satu keluarga bertengkar hingga ke meja hijau karena si perempuan tidak memberi nafkah suami dan keluarganya. Namun tidak sebaliknya. Dari aturan ini jelas menunjukkan perbedaan yang tidak terbantah. Lalu salahkah ketika seorang perempuan bekerja layaknya laki-laki?

Aku secara pribadi tidak ingin mengatakan perempuan dilarang bekerja seperti halnya laki-laki. Itu sangat tidak adil. Dunia kerja pun mungkin akan tampak aneh jika semua yang terlihat mata dan melakukan berbagai variasi pekerjaan hanya laki-laki. Dimana-mana laki-laki. Akan tetapi, banyak yang harus diperhatikan sebelum seorang perempuan memutuskan menjalani hidup dan dalam dunia pekerjaan seperti laki-laki.

Pertama, jika seorang perempuan masih sendiri alias belum memiliki suami. Dalam kacamata Islam, ia masih berada dalam tanggung jawab orang tuanya. Kalau pandangan budaya timur pun sebenarnya masih berada dalam pengawasan orang tua, hanya saja undang-undang mengatakan sampai pada batas dewasa saja. Setelah itu semua diserahkan kepada si perempuan untuk menentukan hidupnya mau dibawa kemana. Mungkin seperti itulah terjemahan dari undang-undang. Aku sudah pasti lebih menyukai prinsip yang pertama. Sampai belum ada serah terima tanggung jawab seorang perempuan dari seorang ayah atau orang tua kepada suami, maka ia tetap menjadi tanggung jawab orang tua. Menikahkan anak adalah mutlak kewajiban orang tua. Dalam hal orang tua sudah tidak ada maka tanggung jawab beralih kepada saudara laki-laki atau kerabat terdekat.

Jadi, memilih untuk bekerja atau melakukan aktivitas sekehendak hati, semua tergantung orang tua. Toh, secara hukum seorang perempuan belum diikat oleh kewajiban apapun saat itu. Bukan seorang istri, bukan pula seorang ibu.

Kedua, inilah yang harus disikapi dengan sangat bijaksana. Jika seorang perempuan sudah berkeluarga, si suamilah yang menjadi penjatuh vonis. Tentu ia lebih tahu memposisikan diri atas kondisi kapal yang dinahkodainya serta jenis pekerjaan apa yang digeluti si istri, kalau memang harus bekerja. Apakah memberi pengaruh positif atau negatif pada rumah tangga mereka. Jika orientasi bekerja si istri adalah uang dan suamipun sangat mendambakan uang dari penghasilan si istri maka si istri akan tetap bekerja. Pun begitu, setiap suami punya alasan sendiri dengan memperhatikan pertimbangan baik dari si istri. Pada intinya keputusan akhir ada pada kapten kapal.

Idealnya bagaimana sih mencari titik tengah dalam pembahasan ini?
Masing-masing orang punya kriteria sendiri dalam menentukan titik ideal bagi kehidupannya. If you asked me, hmm. Aku lebih suka mengembalikan sesuatu kembali kepada kodratnya. Ya, aku lebih memilih untuk mengikuti yang diajarkan Agama Islam. Bicara soal kebutuhan hidup, tentang uang, memang tiada akan pernah ada ujungnya. Penghasilan dari pekerjaan suami pasti kurang, istri bekerja juga semakin terasa kurang. Andai anak-anak kecilpun disuruh bekerja, dipastikan akan tetap kurang. Ditambah warisan-demi warisan jika ada pun tetap saja masih kurang. Karena itulah uang. Kalau kata sesepuh, uang itu banyak kurang, sedikit cukup. Sama halnya dengan kebutuhan hidup. Belum pernah kebutuhan semakin lama semakin berkurang. Tetap saja ingin ditambah waktu demi waktu. 

Kembali ke kodrat itulah yang tepat. Laki-laki itu ditakdirkan menjadi imam, kapten atau nahkoda kapal, pemimpin bagi wanita, kepala keluarga, dan sebutan lain. Secara langsung laki-lakilah yang memenuhi segala keperluan pasukannya. 

Sementara perempuan, punya rahim. Ia bisa hamil, melahirkan dan menyusui anak-anak. Bukan maksud ingin mengatakan peran perempuan hanya sebatas itu. Aku sama sekali tidak pernah ingin menyampaikan begitu. Bagiku itulah satu kemuliaan yang tiada taranya. Banyak pelajaran yang disampaikan Rasul serta para sahabat tentang mulianya seorang perempuan selama ia melewati setiap saat dalam hidupnya. Mulai dari hamil, melahirkan, menyusui hingga ia tiada. Andai kita mendengarkan dan mengetahui sedikit saja nilai kemuliaannya di mata Sang Pencipta mata tidak akan sempat kering karena terus menangis haru. Konon bisa tahu semua ganjaran kemuliaan seorang ibu.

Setiap gerakan bayi dalam kandungan, setiap detik waktu selama hamil, setiap tarikan nafas ketika melahirkan, setiap tetesan air susu ibu, setiap kasih sayang membesarkan si bayi, setiap saat terjaga dari tidur karena tangisan si bayi, setiap air mata yang menetes saat mendoakan si anak dan banyak lagi. Aduhai, kupikir itu puluhan atau ratusan kali lebih mulia daripada apa yang dilakukan seorang suami. Maka tidak salah ketika Rasul mengatakan sampai tiga kali untuk menghormati dan memuliakan seorang ibu dulu, baru ayah pada urutan ke empat.

Aku sangat percaya bahwa menjadi ibu adalah sesempurnanya karir seorang perempuan. Karir terbaik dan mulia. Bukan hanya sebatas ujung nyawa di dunia. Akan terus berlanjut tanpa henti hingga di akhirat kelak. Lalu muncul pertanyaan, apa gunanya lagi pendidikan seorang perempuan harus tinggi kalau hanya berakhir di rumah? 

Ilmu pada dasarnya tidak akan pernah sia-sia. Ilmu akan selalu bermanfaat. Hanya saja waktunya tidak mutlak diperlukan setiap saat. Ilmu seorang dokter setinggi apapun tidak akan bermanfaat setiap saat. Ia hanya diperlukan kalau ada orang sakit. Seperti itu pula ilmu seorang perempuan atau siapa saja. Gelar akademisnya pasti akan bermanfaat satu saat nanti. Seorang perempuan harus tetap berpendidikan baik, berpendidikan tinggi. Tujuannya bukan untuk pamer-pameran atau menyaingi derajat pendidikan seorang laki-laki. Kualitas pendidikan seorang perempuan akan menentukan kualitas dirinya. Semakin baik kualitas dirinya akan sejalan dengan kemampuannya untuk membangun generasi, mendidik anak-anaknya kelak. Bayangkan jika semua ibu memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni, pemahaman yang baik, serta ilmu yang luas. Termasuk di dalamnya cara mendidik bayi, balita, anak kecil dan seterusnya. Mohon maaf, akan sangat terbalik jika seorang perempuan jauh dari semua itu. Mengutip satu kalimat teramat sangat bijaksana dan dalam maknanya, mendidik seorang laki-laki hanya akan mendidik seorang manusia saja, akan tetapi mendidik seorang perempuan bisa berarti mendidik satu generasi. Wah, aku seperti tidak mampu menerjemahkan tingginya nilai didikan dan kemampuan seorang perempuan.  

Laki-laki dan perempuan didesain berbeda. Seluruh dunia sepertinya sepakat bahwa laki-laki cenderung logis, mengutamakan akal sehat dan pikiran. Sebaliknya perempuan mengedepankan perasaan dan hati. Itulah kenapa perempuan semestinya mutlak menjadi barisan terdepan dalam mendidik seorang anak. Sementara laki-laki berdiri sedikit di belakang. Siapapun tahu mendidik dengan hati adalah metode paling sempurna. Hasilnya, bukan bermaksud mendidik seseorang menjadi cengeng, lembek, atau melankolis. Namun tetap saja anak yang terdidik dengan hati akan lebih banyak memberikan porsi penggunaan hati dalam setiap perjalanan hidupnya dan itu jauh lebih baik. 

So, kembali ke poin yang tidak boleh dilupakan. Bolehkah perempuan bekerja? Ada yang bilang biarkanlah perempuan bekerja sebagai satu bentuk aktualisasi diri dan mengisi waktu untuk menjadi seorang perempuan yang produktif. Wah.. Ini penjabarannya bisa luas. Intinya kembali ke si laki-laki yang menjadi komandannya. Toh, bicara tentang pekerjaan itu banyak jenisnya. Ada yang memang harus keluar rumah dengan waktu yang terikat layaknya pekerjaan pada umumnya. Ada pula yang memang keluar rumah namun dengan waktu fleksibel. Tidak jarang pula aktivitasnya tetap berada dalam pekarangan kondusif yang sama sekali tidak mengurangi perannya sebagai seorang istri atau ibu. Bahkan ada juga yang lebih sempurna, aktivitas pekerjaannya justru meningkatkan kualitas dirinya hari demi hari. For me, yang paling utama adalah bagaimana ia bisa menomorsatukan kesadaran bahwa dia adalah perempuan yang menyadari kodratnya.(MS)
Share this article :

0 comments:

Watch Your Time

Check this All Label

Visitor

Flag Counter
 
Support : Proudly powered by Blogger
Copyright © 2014. LifeIsAStoryOfJourney - All Rights Reserved