-Thank You for Visiting-
Home » , » Front Pembela Islam dalam Kacamata (ku)

Front Pembela Islam dalam Kacamata (ku)

Written By Unknown on Monday 17 February 2014 | 12:21


Lingkaran Rantai Subjektivitas dan Objektivitas FPI


Front Pembela Islam (FPI). Siapa yang tidak tahu nama itu. Organisasi dengan sepak terjang sangat berbeda dengan organisasi pada umumnya. Khalayak ramai menilainya cenderung anarkis, akrab dengan kekerasan, pemberontak aturan pemerintah, bisa disebut melawan tatanan hukum republik ini. Singkatnya, organisasi ini terlabel tidak disukai kecuali oleh sangat sedikit orang. Apakah FPI memang organisasi yang pantas mendapat semua gelar itu? Benarkah FPI hanya terkait dengan citra negatif semata? Seburuk itu kah FPI sebenarnya?
Jika harus memilih antara pro dan kontra. Aku memilih mana? Sebelumnya, jika aku memilih pro, apakah aku dianggap sebagai anggota FPI? Apakah juga simpatisan, kader, pendukung dan sebagainya yang pada akhirnya aku dicap juga sebagai pembangkang aturan hukum negeri ini? Oh... Sebaiknya tidak sampai segitu jauh menyandang sebutan itu. Lalu jika aku memilih kontra apakah aku termasuk dalam musuh FPI yang patut diberantas karena bertentangan dengan pola pikir mereka? Kalau begitu aku netral saja. Tidak memihak kepada salah satu pun.
Aku pikir tidak. Secara pribadi aku punya pendapat sendiri. Boleh berbeda, boleh sama dengan siapapun. Tanpa mendiskreditkan salah satu pihak, aku lebih memilih untuk tersenyum dengan aksi-aksi yang dilakukan FPI. Ya, itu artinya aku setuju-setuju saja. Sekali lagi, aku tidak ingin mengatakan aku salah satu dari FPI, bukan anggota, simpatisan atau apalah. Bukan pula ingin memproklamirkan aku suka kekerasan, atau senang menentang aturan. Aku hanya ingin menempatkan diri sebagai pihak yang jeli memilah mana yang benar sehingga patut dibela, dan mana yang salah sehingga pantas dihukum dengan cara yang semestinya. Tentu ini hanya pendapatku.
Lalu bagian mana dari FPI yang patut didukung? Media cetak dan elektronik merupakan pemberita yang paling dekat dengan mata serta telinga masyarakat semua kalangan. Ketika ada informasi yang tersebar melalui media akan sangat cepat sampai kepada ratusan juta manusia dalam sekejap. Bukan ingin menyalahkan pihak media, hanya saja siapa yang bisa menjamin kenetralan, keseimbangan maupun keindependensian mereka. Sangat mudah untuk menyatakan ini benar dan itu salah hanya dengan menambahkan kata “diduga”. Dalam penilaian masyarakat awam, pernyataan diduga benar sudah berarti benar dan diduga salah sudah identik dengan salah. Padahal kebanyakan itu belum sesuai faktanya. Pemberitaan yang setengah-setengah juga bisa mengartikan makna sebaliknya. Mungkin media yang memberitakan setengah-setengah atau pendengar yang masih mengetahui setengah-setengah. Akibatnya apa? Informasipun dimaknai tanpa ending yang sebenarnya.
Berbicara tentang kenetralan dan keindependensian sangatlah sensitif. Siapapun berharap informasi yang diberitakan hanya memihak pada kebenaran dan fakta semata, titik. Sayangnya, itu tidak susah-susah gampang ditemui. Lihatlah siapa tokoh dibalik berita, mulai dari reporter, editor, pimpinan redaksi sampai sang owner media. Salah satu bisa netral, namun jika rantai netral itu putus mata salah satu mata rantainya, dapat dipastikan akan adanya keberpihakan pada sesuatu yang tertentu. Inilah misteri x yang sulit dimengerti masyarakat umum.
Keseimbangan. Layaknya manusia yang tidak pernah luput dari kebenaran dan kesalahan. Dalam pemberitaan pun demikian. Beritakanlah sesuatu itu secara seimbang. Bukan berdasarkan minat masyarakat yang cenderung ingin mendengar berita terntentu saja. Contohnya, benarkah semua politisi buruk kinerjanya? betulkan semua aparat keamanan arogan? Atau benarkan seorang wartawan selalu bekerja sesuai aturan dan kode etik? Serta beberapa contoh lain. Pada dasarnya dugaan-dugaan seperti itu selalu punya kabar sebaliknya. Oke, mungkin tidak semua hal patut dibeberkan dalam berita hanya untuk mencari keseimbangan. Dikhawatirkan ketika semua hal-hal kecil diketahui masyarakat umum dapat menyebabkan terganggunya stabilitas nasional, kalau itu sesuatu yang buruk. Nah, kalau ada yang menjadi pertimbangan lakukanlah keseimbangan atas hal-hal wajar saja. Terkait FPI misalnya, benarkah aksi FPI hanya bernuasa kekerasan saja? Benarkah mereka berbuat sesuatu yang tidak disuka khalayak berita melulu? Kalaulah media memberitakan dengan seimbang dan transparan maka FPI punya banyak aksi yang membuat kita patut standing applause. Apa itu?
Tidak bisa kita pungkiri penegakan hukum negeri ini tidak sebaik yang diharapkan. Banyak kasus terjadi bertolak belakang dengan kewajaran. Pencuri dua buah coklat dituntut lima tahun penjara, pencuri seekor ayam bernasib hampir serupa, ternyata tidak berbeda jauh juga dengan pencuri atau penyuap dan penerima suap puluhan hingga ratusan milyar. Beruntungnya, kalau sudah bermain dalam angka yang fantastis bisa mendapat bonus lagi, seperti bisa izin keluar, bisa dapat fasilitas hotel. Siapa yang salah? Terlalu hebat kalau ada orang atau instansi yang berani mengakui kesalahan. Sangat besar hati jika ada yang mau disalahkan. Tapi mata yang melihat dan telinga yang mendengar, menyaksikan aparat penegak hukum yang terdiri dari polisi, pengacara, jaksa, hingga hakim bekerja tidak seperti seharusnya. Mungkin tidak banyak tapi hanya beberapa oknum, kabarnya. Masalahnya terkadang bukan tentang kuantitas, kualitas lebih berpengaruh. Biarlah jumlahnya cuma satu persen namun jika yang secuil ini adalah para petinggi, pejabat inti, berkedudukan di puncak maka itu jauh lebih berpengaruh dari pada ribuan orang kalau perannya cuma pion. Benarkah demikian?
Ketidakpuasan lalu kecewa atas peran aparat penegak hukum tidak terhindarkan. Kemudian bak kata ahli psikologi, lebih baik marah daripada putus asa dan menyerah. Lebih baik berbuat sesuatu yang memberi perubahan dan pengaruh daripada duduk manis menyaksikan semua terjadi tanpa ada batasan serta larangan. Khususnya pelanggaran hukum. Itukah yang dilakukan FPI? Apakah alasan itu menjadi dasar aksi FPI selama ini? Jawaban sebenarnya atas aksi FPI hanya mereka yang paling tahu. Sebagai masyarakat awam kita hanya perlu sedikit membuka mata lalu mengamati dengan hati. Jikalah kita anggap FPI selalu berada pada posisi yang salah, fikirkan lagi dengan jernih dan sudut pandang lebih luas.
Perhatikanlah aksi apa saja yang dilakukan FPI. Secara hukum republik ini, pada beberapa poin mereka salah tapi lebih baik mana, mengamputasi kaki yang sudah terluka sangat parah atau menunggu infeksi yang lebih parah sambil berharap masih bisa sembuh. Maksudnya adalah jika terjadi pembiaran atas pelanggaran-pelanggaran hukum terus-menerus secara legal dan disadari bukankah pada akhirnya hanya akan memperparah keadaan.
Itulah yang kumaksud. FPI beraksi hanya pada bagian yang sepertinya diperbolehkan oleh oknum penegak hukum padahal nyata-nyatanya itu salah. Contoh, kita saksikan FPI merusak tempat prostitusi, tempat minum-minuman keras, tempat perjudian. Pasal dan ayat berapa sebenarnya yang memperbolehkan itu secara legal. Terlepas dari kenapa itu ada dan siapa yang berpartisipasi di dalamnya atau adakah oknum yang bermain, itu tetap pelanggaran undang-undang di republik ini, titik. Lalu aksi-aksi FPI kepada kelompok tertentu yang katanya melanggar hak asasi, hak ini itu, kalaulah masyarakat umum lebih jeli mencari tahu dan lagi-lagi media lebih berimbang memberitakan pasti FPI tidak akan tercitrakan sebagai si antagonis. Sekali lagi, tidak ada aksi FPI yang berdasar pada rasa tidak suka pribadi, namun lebih kepada kebenaran. Kalaulah semua pihak faham maksud FPI dengan segala aksinya, yakinlah bahwa banyak hal akan menjadi lebih baik. Media semakin terbuka, aparat penegak hukum semakin menyadari tugas dan tanggung jawabnya, pemerintah bisa fokus pada urusannya, masyarakat menjadi nyaman.
Apakah semua itu membenarkan aksi FPI. Silahkan nilai dari sisi subjektivitas atau objektivitas. Banyak terjadi mungkin di sekitar tempat tinggal kita, ada tempat maksiat seperti perjudian, mabuk-mabukan, prostitusi. Pengunjungnya sudah pasti anak dari seseorang, suami atau istri, orang tua, adik, kakak dari seseorang, siapapun itu. Tahun demi tahun tempat itu mengalir seperti air. Tidak pernah ada yang mencoba mengusiknya. Hasilnya apa? Hanya ada keburukan bagi si keluarga di rumah. Pasti itu. Siapa lagi yang harus disalahkan? Siapa yang bisa merubah itu? Apakah ada yang berharap seorang bocah tiba-tiba datang mengobrak-abrik. Atau seorang kakek yang menggrebek. Atau beberapa pemuda gagah berani yang baru lulus bangku kuliah. Itu terlalu mengada-ada. Kenapa tidak lapor polisi saja? Faktanya akan lucu endingnya. Tempat-tempat itu tiba-tiba berubah menjadi suci. Kenapa? Karena tidak jarang oknum petugas yang datang adalah anggota tetap di tempat itu. Apakah itu tuduhan? Ini hanya tentang sebab-akibat. Lihatlah tayangan-tayangan di media elektronik dengan judul "penggrebekan gagal menemukan bukti, diduga informasi penggrebekan telah bocor". Bukankah ini lucu. Bagaimana mungkin orang yang berada di tempat seperti itu bisa tahu informasi rahasia yang ada di dapur lembaga penegak hukum. Terlalu kontradiktif. Bagaimana pun masyarakat nanti akan semakin cerdas dalam menyikapi kenyataan yang terjadi.
Dihubungkan dengan Islam, karena FPI mencatut kata Islam dalam organisasinya, apakah aksi FPI mencerminkan Islam yang sebenarnya dan menyeluruh? Penjustifikasian begini juga tidak komplit. Pada dasarnya Islam itu lemah lembut, santun dan sempurna. Tapi untuk kemaksiatan yang terjadi ada beberapa tingkatan dalam menyikapinya. Semua muslim pasti tahu itu. Pertama dengan perbuatan, kedua dengan kata-kata dan ketiga dengan doa atau dalam hati. Yang ketiga ini merupakan selemah-lemahnya iman. Jelas cara menyikapi FPI tergolong yang paling tinggi. Dengan ketegasan. Dalam Islam itu tidak salah. Ingat, yang dilawan adalah perbuatan maksiat.
Sedikit menilik ke para sahabat sekaligus amirul mu'minin, Abu Bakar ra. dan Umar bin Khattab ra. Antara kedua sahabat ini memiliki karakter yang sangat berbeda. Abu Bakar dengan kelemahlembutannya, sementara Umar bin Khattab terkenal dengan ketegasan dan kekuatannya. Mereka merupakan tauladan diantara para sahabat juga. Jadi, tidak ada yang salah jika kemudian banyak diantara ummat ini yang mengikuti jejak mereka. Ada yang terus dengan kelembutan ada juga yang dengan ketegasan.
Kembali ke FPI. Mereka bisa dikatakan contoh yang mampu menunjukkan sikap to the point atas pelanggaran, menunjukkan ketegasan ditengah-tengah lembek dan lambatnya aparat terkait, mereka hanya ingin membuktikan bahwa ke plin-plan-an pihak berwenang menjadikan penegakan hukum terbengkalai. FPI hanya ingin membuktikan bahwa proses yang bertele-tele cenderung berakhir anti klimaks. Silahkan menilai mereka seperti apa, tapi pada akhirnya kebenaran tetap saja kebenaran.(MS)
Share this article :

0 comments:

Watch Your Time

Check this All Label

Visitor

Flag Counter
 
Support : Proudly powered by Blogger
Copyright © 2014. LifeIsAStoryOfJourney - All Rights Reserved