Lingkaran Rantai Subjektivitas dan Objektivitas FPI
Front Pembela Islam (FPI). Siapa yang
tidak tahu nama itu. Organisasi dengan sepak terjang sangat berbeda
dengan organisasi pada umumnya. Khalayak ramai menilainya cenderung
anarkis, akrab dengan kekerasan, pemberontak aturan pemerintah, bisa
disebut melawan tatanan hukum republik ini. Singkatnya, organisasi
ini terlabel tidak disukai kecuali oleh sangat sedikit orang. Apakah
FPI memang organisasi yang pantas mendapat semua gelar itu? Benarkah
FPI hanya terkait dengan citra negatif semata? Seburuk itu kah FPI
sebenarnya?
Jika harus memilih antara pro dan
kontra. Aku memilih mana? Sebelumnya, jika aku memilih pro, apakah
aku dianggap sebagai anggota FPI? Apakah juga simpatisan, kader,
pendukung dan sebagainya yang pada akhirnya aku dicap juga sebagai
pembangkang aturan hukum negeri ini? Oh... Sebaiknya tidak sampai
segitu jauh menyandang sebutan itu. Lalu jika aku memilih kontra
apakah aku termasuk dalam musuh FPI yang patut diberantas karena
bertentangan dengan pola pikir mereka? Kalau begitu aku netral saja.
Tidak memihak kepada salah satu pun.
Aku pikir tidak. Secara pribadi aku
punya pendapat sendiri. Boleh berbeda, boleh sama dengan siapapun.
Tanpa mendiskreditkan salah satu pihak, aku lebih memilih untuk
tersenyum dengan aksi-aksi yang dilakukan FPI. Ya, itu artinya aku
setuju-setuju saja. Sekali lagi, aku tidak ingin mengatakan aku salah satu dari FPI, bukan anggota, simpatisan atau apalah. Bukan
pula ingin memproklamirkan aku suka kekerasan, atau senang menentang
aturan. Aku hanya ingin menempatkan diri sebagai pihak yang jeli
memilah mana yang benar sehingga patut dibela, dan mana yang salah
sehingga pantas dihukum dengan cara yang semestinya. Tentu ini hanya pendapatku.
Lalu bagian mana dari FPI yang patut
didukung? Media cetak dan elektronik merupakan pemberita yang paling
dekat dengan mata serta telinga masyarakat semua kalangan. Ketika ada
informasi yang tersebar melalui media akan sangat cepat sampai kepada
ratusan juta manusia dalam sekejap. Bukan ingin menyalahkan pihak
media, hanya saja siapa yang bisa menjamin kenetralan, keseimbangan
maupun keindependensian mereka. Sangat mudah untuk menyatakan ini
benar dan itu salah hanya dengan menambahkan kata “diduga”. Dalam
penilaian masyarakat awam, pernyataan diduga benar sudah berarti
benar dan diduga salah sudah identik dengan salah. Padahal kebanyakan
itu belum sesuai faktanya. Pemberitaan yang setengah-setengah juga
bisa mengartikan makna sebaliknya. Mungkin media yang memberitakan
setengah-setengah atau pendengar yang masih mengetahui
setengah-setengah. Akibatnya apa? Informasipun dimaknai tanpa ending
yang sebenarnya.
Berbicara tentang kenetralan dan
keindependensian sangatlah sensitif. Siapapun berharap informasi yang
diberitakan hanya memihak pada kebenaran dan fakta semata, titik.
Sayangnya, itu tidak susah-susah gampang ditemui. Lihatlah siapa
tokoh dibalik berita, mulai dari reporter, editor, pimpinan redaksi
sampai sang owner media. Salah satu bisa netral, namun jika
rantai netral itu putus mata salah satu mata rantainya, dapat
dipastikan akan adanya keberpihakan pada sesuatu yang tertentu.
Inilah misteri x yang sulit dimengerti masyarakat umum.
Keseimbangan. Layaknya manusia yang
tidak pernah luput dari kebenaran dan kesalahan. Dalam pemberitaan
pun demikian. Beritakanlah sesuatu itu secara seimbang. Bukan
berdasarkan minat masyarakat yang cenderung ingin mendengar berita
terntentu saja. Contohnya, benarkah semua politisi buruk kinerjanya?
betulkan semua aparat keamanan arogan? Atau benarkan seorang wartawan
selalu bekerja sesuai aturan dan kode etik? Serta beberapa contoh
lain. Pada dasarnya dugaan-dugaan seperti itu selalu punya kabar
sebaliknya. Oke, mungkin tidak semua hal patut dibeberkan dalam
berita hanya untuk mencari keseimbangan. Dikhawatirkan ketika semua
hal-hal kecil diketahui masyarakat umum dapat menyebabkan
terganggunya stabilitas nasional, kalau itu sesuatu yang buruk. Nah,
kalau ada yang menjadi pertimbangan lakukanlah keseimbangan atas
hal-hal wajar saja. Terkait FPI misalnya, benarkah aksi FPI hanya
bernuasa kekerasan saja? Benarkah mereka berbuat sesuatu yang tidak
disuka khalayak berita melulu? Kalaulah media memberitakan dengan
seimbang dan transparan maka FPI punya banyak aksi yang membuat kita
patut standing applause. Apa itu?
Tidak bisa kita pungkiri penegakan
hukum negeri ini tidak sebaik yang diharapkan. Banyak kasus terjadi
bertolak belakang dengan kewajaran. Pencuri dua buah coklat dituntut
lima tahun penjara, pencuri seekor ayam bernasib hampir serupa,
ternyata tidak berbeda jauh juga dengan pencuri atau penyuap dan
penerima suap puluhan hingga ratusan milyar. Beruntungnya, kalau
sudah bermain dalam angka yang fantastis bisa mendapat bonus lagi,
seperti bisa izin keluar, bisa dapat fasilitas hotel. Siapa yang
salah? Terlalu hebat kalau ada orang atau instansi yang berani
mengakui kesalahan. Sangat besar hati jika ada yang mau disalahkan.
Tapi mata yang melihat dan telinga yang mendengar, menyaksikan aparat
penegak hukum yang terdiri dari polisi, pengacara, jaksa, hingga
hakim bekerja tidak seperti seharusnya. Mungkin tidak banyak tapi
hanya beberapa oknum, kabarnya. Masalahnya terkadang bukan tentang
kuantitas, kualitas lebih berpengaruh. Biarlah jumlahnya cuma satu
persen namun jika yang secuil ini adalah para petinggi, pejabat inti,
berkedudukan di puncak maka itu jauh lebih berpengaruh dari pada
ribuan orang kalau perannya cuma pion. Benarkah demikian?
Ketidakpuasan lalu kecewa atas peran
aparat penegak hukum tidak terhindarkan. Kemudian bak kata ahli
psikologi, lebih baik marah daripada putus asa dan menyerah. Lebih
baik berbuat sesuatu yang memberi perubahan dan pengaruh daripada
duduk manis menyaksikan semua terjadi tanpa ada batasan serta
larangan. Khususnya pelanggaran hukum. Itukah yang dilakukan FPI?
Apakah alasan itu menjadi dasar aksi FPI selama ini? Jawaban
sebenarnya atas aksi FPI hanya mereka yang paling tahu. Sebagai
masyarakat awam kita hanya perlu sedikit membuka mata lalu mengamati
dengan hati. Jikalah kita anggap FPI selalu berada pada posisi yang
salah, fikirkan lagi dengan jernih dan sudut pandang lebih luas.
Perhatikanlah aksi apa saja yang
dilakukan FPI. Secara hukum republik ini, pada beberapa poin mereka
salah tapi lebih baik mana, mengamputasi kaki yang sudah terluka
sangat parah atau menunggu infeksi yang lebih parah sambil berharap
masih bisa sembuh. Maksudnya adalah jika terjadi pembiaran atas
pelanggaran-pelanggaran hukum terus-menerus secara legal dan disadari
bukankah pada akhirnya hanya akan memperparah keadaan.
Itulah yang kumaksud. FPI beraksi
hanya pada bagian yang sepertinya diperbolehkan oleh oknum penegak
hukum padahal nyata-nyatanya itu salah. Contoh, kita saksikan FPI
merusak tempat prostitusi, tempat minum-minuman keras, tempat
perjudian. Pasal dan ayat berapa sebenarnya yang memperbolehkan itu
secara legal. Terlepas dari kenapa itu ada dan siapa yang
berpartisipasi di dalamnya atau adakah oknum yang bermain, itu tetap
pelanggaran undang-undang di republik ini, titik. Lalu aksi-aksi FPI
kepada kelompok tertentu yang katanya melanggar hak asasi, hak ini
itu, kalaulah masyarakat umum lebih jeli mencari tahu dan lagi-lagi
media lebih berimbang memberitakan pasti FPI tidak akan tercitrakan
sebagai si antagonis. Sekali lagi, tidak ada aksi FPI yang berdasar
pada rasa tidak suka pribadi, namun lebih kepada kebenaran. Kalaulah
semua pihak faham maksud FPI dengan segala aksinya, yakinlah bahwa
banyak hal akan menjadi lebih baik. Media semakin terbuka, aparat
penegak hukum semakin menyadari tugas dan tanggung jawabnya,
pemerintah bisa fokus pada urusannya, masyarakat menjadi nyaman.
Apakah semua itu membenarkan aksi
FPI. Silahkan nilai dari sisi subjektivitas atau objektivitas. Banyak
terjadi mungkin di sekitar tempat tinggal kita, ada tempat maksiat
seperti perjudian, mabuk-mabukan, prostitusi. Pengunjungnya sudah
pasti anak dari seseorang, suami atau istri, orang tua, adik, kakak
dari seseorang, siapapun itu. Tahun demi tahun tempat itu mengalir
seperti air. Tidak pernah ada yang mencoba mengusiknya. Hasilnya apa?
Hanya ada keburukan bagi si keluarga di rumah. Pasti itu. Siapa lagi
yang harus disalahkan? Siapa yang bisa merubah itu? Apakah ada yang
berharap seorang bocah tiba-tiba datang mengobrak-abrik. Atau seorang
kakek yang menggrebek. Atau beberapa pemuda gagah berani yang baru
lulus bangku kuliah. Itu terlalu mengada-ada. Kenapa tidak lapor
polisi saja? Faktanya akan lucu endingnya. Tempat-tempat itu
tiba-tiba berubah menjadi suci. Kenapa? Karena tidak jarang oknum
petugas yang datang adalah anggota tetap di tempat itu. Apakah itu
tuduhan? Ini hanya tentang sebab-akibat. Lihatlah tayangan-tayangan
di media elektronik dengan judul "penggrebekan gagal menemukan
bukti, diduga informasi penggrebekan telah bocor". Bukankah ini
lucu. Bagaimana mungkin orang yang berada di tempat seperti itu bisa
tahu informasi rahasia yang ada di dapur lembaga penegak hukum.
Terlalu kontradiktif. Bagaimana pun masyarakat nanti akan semakin
cerdas dalam menyikapi kenyataan yang terjadi.
Dihubungkan dengan Islam, karena FPI
mencatut kata Islam dalam organisasinya, apakah aksi FPI mencerminkan
Islam yang sebenarnya dan menyeluruh? Penjustifikasian begini juga
tidak komplit. Pada dasarnya Islam itu lemah lembut, santun dan
sempurna. Tapi untuk kemaksiatan yang terjadi ada beberapa tingkatan
dalam menyikapinya. Semua muslim pasti tahu itu. Pertama dengan
perbuatan, kedua dengan kata-kata dan ketiga dengan doa atau dalam
hati. Yang ketiga ini merupakan selemah-lemahnya iman. Jelas cara
menyikapi FPI tergolong yang paling tinggi. Dengan ketegasan. Dalam
Islam itu tidak salah. Ingat, yang dilawan adalah perbuatan maksiat.
Sedikit menilik ke para sahabat
sekaligus amirul mu'minin, Abu Bakar ra. dan Umar bin Khattab ra.
Antara kedua sahabat ini memiliki karakter yang sangat berbeda. Abu
Bakar dengan kelemahlembutannya, sementara Umar bin Khattab terkenal
dengan ketegasan dan kekuatannya. Mereka merupakan tauladan diantara
para sahabat juga. Jadi, tidak ada yang salah jika kemudian banyak
diantara ummat ini yang mengikuti jejak mereka. Ada yang terus dengan
kelembutan ada juga yang dengan ketegasan.
Kembali ke FPI. Mereka bisa
dikatakan contoh yang mampu menunjukkan sikap to the point
atas pelanggaran, menunjukkan ketegasan ditengah-tengah lembek dan
lambatnya aparat terkait, mereka hanya ingin membuktikan bahwa ke
plin-plan-an pihak berwenang menjadikan penegakan hukum terbengkalai.
FPI hanya ingin membuktikan bahwa proses yang bertele-tele cenderung
berakhir anti klimaks. Silahkan menilai mereka seperti apa, tapi pada
akhirnya kebenaran tetap saja kebenaran.(MS)
0 comments:
Post a Comment