Tentang Penyikapan Perbedaan,
Karena Kebenaran Hakiki hanya Milik Pencipta
Siapa yang tidak mengenal MUI.
Majelis Ulama Indonesia. Nama ini sudah ada puluhan tahun. Tepatnya lahir pada 26 Juli 1975 di Jakarta. MUI sering
disebut dan kerap terdengar di media-media elektronik maupun media
sosial. Dari semua berita yang terkait MUI, Fatwa MUI menjadi topik
yang paling banyak dibicarakan orang. Bukan cuma dibicarakan, bahkan
ditentang, dicaci, dinistakan, diburukkan, dan seterusnya. Lalu, apa
yang salah dengan Fatwa MUI? Kenapa begitu banyak orang yang
membencinya?
Aku punya pendapat sendiri tentang
ini. Ketika beberapa kalangan memilih untuk kontra atas Fatwa MUI,
aku memilih untuk masuk dalam golongan pro. Silahkan bertanya pada
hati nurani masing-masing bagian mana dari Fatwa yang dikeluarkan MUI
tidak untuk kebaikan si manusia itu sendiri secara menyeluruh. Apa
yang difatwakan oleh MUI bukanlah sembarangan dan asal-asalan. Orang
yang duduk disana merupakan orang-orang yang sangat terpelajar,
terdidik dan sangat memahami apa yang dikeluarkannya. Mereka
menetapkan sesuatu apalagi fatwa bukan berdasarkan subjektivitas
pribadi, melainkan berdasarkan dasar dalil dan sunnah Rasul. Tidak
ada sedikitpun keputusan lahir hanya karena suka dan tidak suka.
Ingat, ulama merupakan penerus dari
para rasul. Para ulama menjadi garis terdepan dalam menjaga serta
mengingatkan ajaran-ajaran agama dapat berjalan pada koridor yang
sesuai.
Contoh terdekat yang setiap hari
kita gauli secara langsung maupun tidak langsung, rokok. MUI sudah
dengan tegas memfatwakan rokok itu haram, titik. Alasan atau dasar
penetapan suatu fatwa tidak serta merta harus gamblang tertulis dalam
al-Qur'an dan sunnah. Kalau seperti itu, maka tidak pernah ada
tertulis kata "rokok" dalam al-Qur'an maupun sunnah. Akan
tetapi, pelajarilah dengan lebih dalam dan teliti. Satu dari sekian
yang menjadi dasar yaitu pernyataan bahwa ketika sesuatu itu lebih
banyak mudharat (keburukan) daripada manfaat (kebaikan), maka ia bisa
menjadi tidak boleh atau haram. Sangat adil sekali Islam menyampaikan
itu. Seperti halnya rokok. MUI memfatwakan haram karena memang
ditemukan jauh lebih banyak nilai keburukan daripada kebaikan. Itu
adalah fatwa yang sesungguhnya sangat baik kepada manusia itu
sendiri. Tidak lain untuk menjaga manusia agar tetap dapat menikmati
anugerah yang tidak ternilai yaitu kesehatan. Sebaliknya sesuatu yang
buruk bisa menjadi boleh, contohnya seperti obat terlarang. Pada saat
tertentu obat ini bisa menjadi diperbolehkan meski sebenarnya haram.
Misalnya untuk keperluan medis. Kalau tidak menggunakan obat tertentu
maka nyawa seseorang bisa hilang. Kasus seperti ini, meski haram
namun ketika manfaat lebih besar, maka ia menjadi diperbolehkan.
Sangat adil Islam menjelaskan itu andai kita sedikit saja berpikir.
Lalu, kenapa banyak orang justru
menentang Fatwa MUI? Siapa yang salah? MUI atau para ulama merupakan
orang yang sudah disumpah secara duniawi dan tersumpah atas diri pribadi
dihadapan Allah SWT bahwa mereka bertugas untuk terus menyampaikan
kebenaran sesuai dengan yang diajarkan dalam al-Qur'an dan Sunnah.
Mereka bukan Tuhan dan bukan pula Rasul. Tetapi apa yang mereka
sampaikan adalah menerjemahkan apa-apa yang belum difahami oleh ummat
secara umum. Satu jawaban yang bisa dijadikan pertimbangan, tugas
mereka menyampaikan kebenaran demi kemashlahatan ummat. Akan tetapi,
ketika banyak orang yang melanggarnya apalah yang dapat mereka
lakukan. Ingat, tugasnya adalah mengatakan yang benar.
Pada akhirnya sampai kapanpun selalu
saja akan sejalan antara pro dan kontra. Dimana ada pro, kontra pun
ikut mengiringi. Kalau memang manusia senang melanggarnya apa yang
bisa diucapkan lagi selain, silahkan berbuat sesuka anda. Mau
mematuhi atau melanggarnya, silahkan. Bukankah ini hanya fatwa yang
disampaikan oleh manusia biasa, sekali lagi hanya manusia biasa yang
hidup (mungkin) diakhir zaman, sementara pada kenyataannya jangankan
sekedar fatwa, perintah Allah langsung yang tidak ada perselisihan
sedikitpun sudah dilanggar secara sadar dan terang-terangan.
Ingin membela diri apa lagi? Mau
berontak sekeras apa lagi? bersikukuh seperti batu? Silahkan.
Silahkan berbuat semaunya. Toh, setiap manusia akan
mempertanggung-jawabkan semua yang dilakukan sampai sekecil debu pun
tanpa ada yang terlewat.(MS)
0 comments:
Post a Comment